Menggugat Relasi Patron-Klien dalam Pilkada?
Yazwardi Jaya, Akademisi/ Peminat Ketatanegaraan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Raden Fatah Palembang--
SUMATERAEKSPRES.ID - Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) serentak jika tidak ada aral melintang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 di 545 daerah yang terdiri dari 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Sebulan lebih setelah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden pada 20 Oktober 2024.
PERISTIWA demokrasi, politik, dan hukum yang melibatkan secara langsung calon kepala daerah dan wakilnya dengan rakyat sebagai pemilih merupakan relasi interaksionis yang saling membutuhkan dan sekaligus saling menguntungkan.
BACA JUGA:Kejati dan Bawaslu Kolaborasi untuk Sukseskan Pilkada Serentak 2024
BACA JUGA:Jalankan Cooling System, Kapolres OI Ajak Media Jaga Kondusifitas Pilkada Serentak, Ini Pesannya!
Apakah dalam kondisi demikian harus ada hubungan patron-klien antara pemilih dan pemimpin yang terpilih?
Secara generik, teori hubungan patron-klien adalah hubungan timbal balik kedua belah pihak dalam derajat yang tidak seimbang.
Patron yang dalam bahasa Spanyol berarti atasan dideskripsikan sebagai pihak yang lebih tinggi (superior) dan klien yang dianggap sebagai bawahan (inferior) atau dalam ungkapan lainnya sebagai hubungan antara induk semang dan anak buahnya.
Pola relasi tersebut terjadi antara calon (kandidat) tertentu dengan para pendukungnya dalam proses pilkada dengan berbagai partisipasi politik yang dianggap akan menyukseskan demokrasi.
Jika asumsi itu diterima, maka pola relasi patron-klien terjadi antara sang calon kepala daerah terpilih dan para pendukungnya saja, bukan kepada keseluruhan masyarakat.
Dengan kata lain, pola relasi patron-klien beririsan dengan politik interaksionis yang identik dengan politik dagang sapi alias politik bagi-bagi kekuasaan bagi para pendukungnya saja dan mengabaikan kepentingan rakyat banyak.
Dalam teorisasi ilmu politik, partisipasi politik masyarakat akan terbagi menjadi beragam sesuai kapasitas dan kepentingannya masing-masing.
Setidaknya ada 3 (tiga) tipe masyarakat yang berpartisipasi dalam demokrasi. Pertama, berpartisipasi secara aktif dengan penuh kesadaran dirinya sendiri untuk memilih salah satu calon yang dianggapnya sesuai dengan kepentingan rakyat, kelompok ini dianggap sebagai kelompok pemilih rasional.
Kedua, kelompok masyarakat yang “mendedikasikan dirinya” sebagai kelompok gladiator, yaitu sebagai tim sukses calon pasangan tertentu; mereka akan berjuang all out untuk mendapatkan simpati masyarakat agar memilih calon yang diusungnya; dan kelompok ketiga, adalah masyarakat pemilih yang skeptis dengan 2 pilkada sehingga memilih golput alias tidak memilih namun tetap datang ataupun juga tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Suka atau tidak suka akan terjadi perbedaan pandangan antara para pendukung dan tim sukses masing-masing kandidat.