Menjaga Mutu Yellowfin Tuna Nelayan Timur, Tangkap Ikan dengan Prinsip Ekonomi Biru

Rabu 21 Aug 2024 - 11:46 WIB
Reporter : Rendi Fadillah
Editor : Rendi

JAKARTA, SUMATERAEKSPRES.ID – Sebentar lagi masuk Musim Barat, sekitar bulan Oktober-April. Pada saat itu nelayan-nelayan di Kecamatan Bonepantai, Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Sulawesi Utara bersuka cita karena populasi ikan tuna melimpah. Nelayan bisa lebih banyak menangkap ikan dan menjualnya ke pedagang pengumpul atau koperasi produsen.

“Minggu ini kita terima sekitar 200-300 kilogram ikan tuna dari 100-an nelayan Desa Tongo dan Batu Hijau. Produksi ikan tuna pada Musim Timur ini tergolong sedikit, nanti masuk Oktober 2024 baru tumpah ruah,” ujar Ketua Koperasi Produsen Kelautan dan Perikanan Tuna Star Mandiri, Adjis Musa Muharam kepada Sumatera Ekspres, Jumat (16/8/2024).

Dengan produksi yang ada, pendapatan nelayan sekitar Rp7-8 juta per bulan. Tapi ketika puncak musim ikan tuna, nelayan meraup penghasilan hingga Rp20 juta per bulan. “Gorontalo salah satu basis produksi ikan tuna di Indonesia. Kita saja bisa membeli dari anggota nelayan 50-60 ton per tahun,” lanjut Adjis. Selain ikan tuna, koperasinya menampung ikan cakalang, tongkol, dan cumi-cumi.

Adjis mengaku selama ini ikan tuna merupakan komoditas perikanan ekspor lantaran paling dicari dan diminati pasar seafood dunia. Harganya mahal, makanya nelayan tuna bertahan walau Musim Timur. Ikan tuna fresh kualitas ekspor grade A dan B dibeli Rp55 ribu per kg dari nelayan. “Kami jual lagi ke eksportir (buyer) asal Jakarta, Surabaya, dan Bali dengan harga tuna loin (sudah diproses, tinggal daging) Rp90 ribu per kg dan gelondongan Rp60 ribuan per kg,” ungkapnya.

Dikatakan, pihaknya hanya sebagai supplier tuna, nanti buyer yang mengekspor ke ke Jepang, Thailand, Vietnam, Amerika Serikat dengan kapal kontainer. “Di pasar ekspor, harga tuna loin grade A sampai Rp150 ribu per kg. Kebanyakan kita jual jenis tuna sirip kuning (yellowfin tuna), harganya bersaing dengan tuna sirip biru (bluefin) yang banyak di Jepang. Di Indonesia, sirip biru kurang tapi sirip kuning juga tinggi permintaan,” tuturnya. Khusus ikan tuna grade C dan D biasanya dilempar ke pasar lokal dengan harga lebih murah.

BACA JUGA:10 Kandungan Nutrisi Ikan Tuna yang Mendukung Kesehatan Tubuh

BACA JUGA:Kandungan Ikan Tuna Baik Untuk Tubuh, Dari Protein Hingga Zat Besi

Menurut Adjis, yang membedakan grade A, B, dan C itu dari penanganan (perlakuan) usai ditangkap oleh nelayan di kapal. Semakin baik, semakin mahal harganya karena ikan-ikan tuna yang fresh masuk grade A semua. Ciri-ciri grade A dan B itu warna dagingnya merah, mata bersih, terang, kulit normal dan bersih, kondisi ikan bagus dan utuh. Sebaliknya grade C dan D, warga daging kurang merah, kulit berlendir, otot daging kurang elastis, kondisi ikan tidak utuh atau cacat. “Ikan tuna kualitas A dan B langsung diekspor dalam bentuk utuh dan segar tanpa pembekuan terlebih dahulu,” lanjutnya. 

Dijelaskan, nelayan penting memahami cara penanganan yang benar, mulai dari penarikan dan penaikan ikan ke atas kapal, mematikan ikan tuna, pembuangan isi perut dan insang, pembersihan darah dan kotoran, hingga penyimpanan. “Nelayan kita sudah banyak yang ngerti, beberapa kali Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memberikan pembekalan teknik penanganan dan grading tuna segar,” sebut Adjis.

Selain itu, untuk meningkatkan produktivitas tangkap nelayan Sulawesi Utara, pihaknya mendapat bantuan kapal kapasitas 3 GT (gross tonnage) beserta alat tangkap. “Dapat dari KKP tahun 2018. Kapal ini sedikit banyak membantu nelayan kelompok kita, karena mau membeli harganya Rp70-80 juta,” imbuhnya. Hanya saja kapal 3 GT tergolong kecil, daya jelajahnya dibatasi sampai 12 mil dengan 2 ABK (anak buah kapal). Nelayan paling lama berlayar 3 hari dengan perolehan berapa puluh kilogram ikan tuna saja.

Dijelaskan, nelayan lokal/setempat mematuhi zona penangkapan ikan terukur sampai paling jauh 12 mil laut, pada zona 03 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 715 (perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau). Hal ini sebagaimana diatur PP Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT) dan Permen KKP Nomor 28 tahun 2023 tentang PIT.

Diketahui PIT merupakan penangkapan ikan yang terkendali dan proporsional pada zona PIT, berdasarkan kuota penangkapan ikan dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya ikan dan lingkungan, serta pemerataan pertumbuhan ekonomi nasional. PIT menjadi salah satu program ekonomi biru KKP dalam upaya transformasi tata kelola kelautan dan perikanan yang berasaskan pada prinsip ekonomi biru.

Menurut Adjis, nelayan Desa Tongo dan Batu Hijau mayoritas nelayan kecil dengan kapal rata-rata 3 GT. Mereka masih berharap memiliki kapal besar kapasitas 10, 15 hingga 30 GT supaya dapat masuk zona industri penangkapan ikan (fishing industry) pada WPPNRI 715. “Dengan kapal besar, nelayan mampu menjangkau laut lepas sampai 60 mil atau ke Teluk Tomini (lokasi ikan tuna),” kata Adjis. Jika bisa ke Teluk Tomini, produksi nelayan pasti meningkat. Sekali turun (melaut, red) selama satu Minggu, bisa menangkap 1 ton lebih.

Namun membeli kapal dengan 5-6 ABK itu terlalu mahal mencapai Rp700-800 juta per unit. “Kalau bisa dibantu kapal 15-20 GT, nelayan-nelayan kita tentu semakin sejahtera,” harapnya. Di sisi lain, nelayan patuh Permen KKP Nomor 36 tahun 2023 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan (API) dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Zona PIT dan WPPNRI. “Nelayan kita menggunakan alat tangkap pancing ulur tuna yang ramah lingkungan. Ini juga menyangkut perlakuan ikan tuna untuk menentukan grade-nya. Meskipun hanya memancing tetap enak, Teluk Tomini lokasinya, jadi pulang pasti ada hasil,” bebernya.

Satu lagi persoalan nelayan, lanjut Adjis, sulitnya mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) Pertalite untuk kapal. Masalah ini sebenarnya telah menjadi perhatian Pemerintah. KKP mengandeng Kementerian BUMN dan PT Pertamina Patra Niaga agar memenuhi kebutuhan BBM bersubsisi bagi nelayan.

Kategori :