Sanjo-sanjoan Tradisi Lebaran di Palembang yang Kian Memudar, Lebih Utama Datang Langsung Bukan Melalui WA

SANJO LEBARAN: Tradisi sanjo-sanjoan di daerah Kuto, Palembang, yang masih terjaga meski tidak seramai dulu lagi. Saling kunjungi setelah salat ied, baik itu Idulfitri maupun Iduladha. FOTO: DOK/EVAN ZUMARLI/SUMEKS--
PALEMBANG, SUMATERAEKSPRES.ID - Dalam kamus bahasa Palembang, Sanjo berarti bertamu atau saling mengunjungi. Sanjo merupakan tradisi masyarakat Palembang yang telah diwariskan turun-temurun, yang harus dipertahankan dan dilestarikan.
Tradisi ini membuat antarkeluarga saling mengunjungi dan saling bermaaf-maafan di saat hari raya. Baik itu Idulfitri maupun Iduladha. Seiring dengan perubahan dan kemajuan zaman, adat dan budaya ini perlahan mulai terkikis.
BACA JUGA:Perjuangan Rahmat Pekerja Migran: Lebaran di Qatar Tanpa Libur, Usai Salat Ied Langsung Kerja
Seorang tokoh masyarakat di Kelurahan Kuto Batu, Kecamatan Ilir Timur 3, Kota Palembang, Kgs Husin Fuad (70), menegaskan mereka masih memegang erat tradisi sanjo-sanjoan. Apalagi diketahui, tradisi sanjo Lebaran di daerah Kuto, seolah menjadi wisata religi.
Di kediamannya dengan ornamen bentuk rumah panggung berada di RT 09, RW 03, Lr Sungai Jeruju, Kgs Husin Fuad, berbagi cerita tentang tradisi sanjo-sanjoan ini yang kian meredup di kalangan generasi muda.
"Kalau umur aku 70 tahun ke atas masih menjalankan sanjo-sanjoan, tapi generasi di bawah aku sudah mulai jarang melakukannya," kata Husin, dalam perbincangannya dengan Sumatera Ekspres, belum lama ini.
Mang Husin, sapaan akrabnya, menjelaskan sanjo-sanjoan biasanya dilakukan usai salat Ied. “Habis salat Ied, yang pertama kita cari adalah orang tua dan mertua, baru setelah itu pulang ke rumah sendiri,” tegasnya.
Dahulu, sanjo dilakukan secara beramai-ramai. “Di musala kami, setelah salat Ied ada tahlilan bersama. Lalu anggota sanjo mengunjungi rumah ketua musala, setelah itu baru ke rumah-rumah anggota lainnya," sampainya.
Namun diakuinya, tradisi ini mulai terkikis dalam satu dekade terakhir. "Kalau dibandingkan dulu, sekarang sudah tidak seramai dulu lagi. Yang masih menjaga tradisi ini adalah masyarakat di daerah Seberang Ulu, 22 Ilir, dan 19 Ilir. Di sana, sanjo-sanjoan masih dilakukan dengan penuh semarak," katanya.
Dalam setiap kunjungan sanjo-sanjoan, biasanya para anggota keluarga berbincang tentang banyak hal. ”Mulai dari kondisi keluarga, cerita selama bulan puasa, hingga mengenang kenangan masa lalu,” tuturnya.
Tak jarang, tuan rumah yang dikunjungi juga memberikan uang saku kepada tamu yang datang, terutama kepada anak-anak. "Dulu, kalau sanjo ke rumah orang kaya, biasanya kita dapat uang. Kadang Rp50 ribu, kadang Rp100 ribu," ucapnya tersenyum.
Selain berbagi kebahagiaan, sanjo-sanjoan juga identik dengan hidangan khas Lebaran. Di rumah-rumah yang dikunjungi, biasanya tersedia ketupat, lontong, opor ayam, serta makanan khas Palembang seperti tekwan dan pempek.
"Kalau kue, ada 8 jam dan maksuba. Itu yang selalu ada di meja tamu saat Lebaran," tambahnya. Mang Husin juga membedakan antara sanjo-sanjoan dan rombongan "ayeb" yang juga lazim di Palembang.