Hilangnya Etika Politik
Mahendra Kusuma SH MH, (Dosen Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa Palembang)-ist-
Para politikus yang tidak dituntun kaidah moral dan etika, pada akhirnya melahirkan kesewanang-wenangan dan anarkhi.
Ia mengatakan itu berdasarkan pengalaman pahit diri pribadinya serta masyarakat Rusia lainnya yang mengalami intrik - intrik politik yang sangat pahit selama bertahun-tahun (Pudjo Suharso, 1996).
Bercermin pada masa lalu dan juga kesemrawutan politik yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, sudah sepantasnya jika moralitas dan etika ditempatkan pada anak tangga yang paling atas dalam pembangunan politik di tanah air tercinta ini.
Politik yang berorientasi kepada kekuasaan belaka serta kering dari moralitas dan etika cenderung hanya berkutat kepada bagaimana mempertahankan dan merebut kekuasaan, yang ditransformasikan kepada kejayaan dan materi.
Sedangkan politik yang berlandaskan moralitas dan etika cenderung berorientasi kepada kemartabatan manusia.
Politik menurut paham ini hanya alat untuk mengabdikan diri bagi kemaslahatan bersama, dan bukan tujuan.
Di sinilah letak arti pentingnya etika dan moralitas guna menjaga kesinambungan bangsa yang bermartabat.
Etika politik adalah moralitas berpolitik. Dalam hal ini ada ukuran-ukuran etis dan tidak etis.
Dalam etika politik selalu ada aturan main (rule of the game) yang mengatur kegiatan-kegiatan politik, kewenangan, status, sikap, norma serta hak dan kewajiban.
Dasar bertindak bukan bertumpu pada otoritas semata, melainkan ada banyak variebel (Hendardi, 1996).
Dalam etika politik selalu harus ada sikap toleransi, tidak saling hujat menghujat, tidak saling menfitnah, tidak mengeluarkan pernyataan yang dapat menyinggung perasaan orang lain, menghargai pendapat orang lain, tidak mementingkan diri sendiri atau kelompoknya.
Kode etik yang berlaku dalam dunia politik adalah paradigma (yaitu cara berpikir, bersikap, dan bertindak) yang berorientasi kepada kepentingan orang banyak, dengan jalan mendahulukan kepentingan orang banyak ini daripada kepentingan pribadi (Ipong S. Azhar, 1996).
“Political Decay”
Jika disepakati adanya dialog maka sikap jujur harus dijalankan. Masing-masing pihak harus dipandang setara. Tidak boleh ada tindakan sepihak yang menodai upaya dialoq.
Masing-masing harus menunjukkan itikad baik agar dialog yang seimbang dapat dilaksanakan.
Dalam menyelesaikan masalah secara etis, masing-masing pihak itu pemerintah maupun masyarakat tidak boleh meremehkan pihak lain dan menetapkan syarat-syarat secara sepihak.