Hilangnya Etika Politik
Mahendra Kusuma SH MH, (Dosen Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa Palembang)-ist-
SUMATERAEKSPRES.ID - Tahun politik 2024 ditandai berbagai aktivitas yang menghangatkan suhu politik di tanah air.
Mulai dari gugatan batas usia bagi calon presiden dan wakil presiden, upaya merangkul parpol sehingga mematikan oposisi, gugatan batas usia calon kepala daerah, upaya menjegal lawan politik yang mempunyai elektabilitas tinggi, aksi borong parpol dalam kontestasi pilkada di beberapa daerah, dan saling sindir antar calon kepala daerah yang akan bertarung dalam pilkada serentak.
BACA JUGA:Diduga Terlibat Politik Praktis, Periksa Dua Pejabat Pemkot
BACA JUGA:Jauhi Politik Hoax dan Fitnah
Perilaku tersebut semakin membenarkan tesis yang mengatakan bahwa politik itu kejam dan kotor, politik kadang menghalalkan segala cara demi tercapai apa yang diinginkan.
Apa itu politik? Seorangi lmuwan Barat mengatakan, politik adalah menyangkut “siapa memperoleh apa, dan dengan cara bagaimana”.
Yang lainnya mengatakan, politik itu menyangkut upaya memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Dari situlah kemudian lahir antara lain konsep Machiavelisme, yang menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan.
Penganut mazhab Machiavellian biasanya sangat percaya bahwa politic is the of possible, politik adalah memungkinkan cara apa saja untuk mempertahankan kekuasaan.
Sedang kekuasaan itu sendiri, menurut Lord Acton, cenderung disalahgunakan (power tends to corrupt).
Politik memang kotor dan kejam. Lihatlah di berbagai negara, politik telah menyebabkan berjuta-juta manusia saling bunuh membunuh, di penjara, diculik, dicekal dalam berbagai episode sejarah umat manusia di mana pun.
Etika Politik
Dari gambaran di atas, timbul pertanyaan, apakah politik tidak memiliki etika? Secara ideal, etika politik telah dipikirkan dan ada sejak zaman Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Hobbes, John Locke dan beberapa lainnya.
Mereka ini telah melahirkan karya-karya tentang etika politik. Dari merekalah kita saat ini mengenal adanya lembaga-lembaga kenegaraan (legislatif, eksekutif, yudikatif), demokrasi, republik, trias politica dan sebagainya.
Tetapi ego manusialah yang menyebabkan semua itu tidak atau kurang berarti, sehingga tragedi-tragedi politik masih terus berulang sampai sekarang. Politik seolah-olah berjalan tanpa moral/etika.
Dalam hubungan antara dunia politikdan moral, Solzhenitsyn dalam salah satu pidatonya di Liechtenstein tahun 1993, menegaskan bahwa politik tanpa moral adalah bencana.