Menurut teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan (balanced probability of principles), terhadap kesalahan orang (schuld) tidak dapat dilakukan pembalikan beban pembuktian, tetapi dibuktikan secara negatif menurut undang-undang (negatief wettelijke bewijs theorie) oleh penuntut umum, dan terhadap kepemilikan harta pelaku tindak pidana korupsi dapat dipergunakan atau dapat dibuktikan dengan pembalikan beban pembuktian.
BACA JUGA:Asian Values di Tengah Pilkada dan Implikasinya pada Demokrasi Lokal
BACA JUGA:Memarketing’ Kemudahan Berusaha, Mendulang Investasi
Ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sangatlah bertolak belakang dengan prisip-prinsip yang terkandung dalam teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan (balanced probability of principles).
Ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Hal ini berarti bahwa dalam ketentuan Pasal 37 tersebut, terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan unsur kesalahan (schuld) terdakwa, sementara hal tersebut tidak dibenarkan dalam teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan (balanced probability of principles).
Kemudian juga dalam penjelasan Pasal 37 ayat (2) UU Tipikor dikatakan secara tegas bahwa ketentuan ini tidak menganut sistem pembuktian secara negatif menurut undang-undang.
BACA JUGA:Makna Hijrah Secara Filosofis dan Psikologis
BACA JUGA:Kontribusi TOS Terhadap UMKM di Kota Lubuklinggau
Sementara itu, teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan (balanced probability of principles) mengedepankan keseimbangan secara proporsional antara pembuktian secara negatif menurut undangundang (negatief wettelijke bewijs theorie) yang dilakukan oleh penuntut umum dengan pembalikan beban pembuktian yang dilakukan oleh terdakwa menyangkut asal usul harta kekayaan miliknya.
Berdasarkan Pasal 12 B ayat (1) UU Tipikor yang mengatur tentang suap dan gratifikasi, dalam ketentuan pasal tersebut terlihat jelas bahwa kepada terdakwa dibebankan untuk membuktikan, yaitu pertama, membuktikan unsur kesalahan (schuld) terdakwa menyangkut delik suap.
Kedua, melakukan pembuktian terhadap gratifikasi tersebut bukan merupakan suap. Hal seperti di jelaskan di atas mengenai pembuktian pertama yang dilakukan oleh terdakwa, juga tidak dibenarkan dalam teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan (balanced probability of principles).
Ketentuan Pasal 12 B ayat (1) huruf a UU Tipikor, merupakan penerapan pembalikan beban pembuktian secara murni, yang tidak memberi ruang bagi penuntut umum untuk membuktikan secara negatif menurut undang-undang (negatief wettelijke bewijs theorie).
BACA JUGA:Hiduplah Sesuka Sesungguhnya Engkau Akan Jadi Mayit
BACA JUGA:Memimpin dengan Sikap “SIWA”
Kebijakan legislasi yang diharapkan lahir dari suatu ke-bijakan dalam hukum pidana, dalam bentuk pengaturan mengenai “teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan (balanced probability of principles)” yang seharusnya diadopsikan kedalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diharapkan dapat menjadi penyeimbang secara proporsional antara kewenangan penuntut umum dalam membuktikan secara negatif menurut undangundang (negatief wettelijke bewijs theorie) dengan kepentingan terdakwa dalam hal membuktikan asal-usul harta yang dimilikinya dan juga diharapkan menjadi sarana atau alat untuk mengembalikan aset negara yang dikorupsi.