Pengaturan Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Perkara Tindak Pidana Korupsi

Sabtu 31 Aug 2024 - 20:57 WIB
Oleh: Iwan Irawan

Ketidakmampuan terdakwa membuktian dirinya tidak bersalah, tidak sertamerta menghilangkan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa.

BACA JUGA:Makna Merdeka Belajar bagi Anak Berkebutuhan Khusus

BACA JUGA:Antara Egoisme dan Sikap Mendahulukan Kepentingan Orang Lain

Dengan demikian, beban pembuktian terhadap suatu perkara pidana tetap dibebankan kepada penuntut umum. Disamping belum terdapat rumusan delik dalam UU Nomor 3 Tahun 1971 mengenai pembalikan beban pembuktian.

Hingga sekarang, shifting burden of proof ini yang digunakan dalam memudahkan perampasan aset milik terdakwa atau keluarganya yang terkait dengan tindak pidana korupsi yang didakwakan oleh penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 37A dan Pasal 37B UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. 

Dalam literatur, shifting burden of proof ini dikenal dengan sistem pembalikan beban pembuktian yang terbatas atau berimbang. 

Sebutan ini dikarenakan sesuai dengan rumusan Pasal 66 dan Pasal 137 KUHAP beban untuk membuktikan kesalahan terdakwa mutlak berada pada penuntut umum, sedangkan terdakwa dibebani kewajian hanya terbatas pada :

BACA JUGA:Kebakaran Lahan Gambut: Penyebab, Dampak, dan Upaya Penanggulangan

BACA JUGA:Memaknai HUT RI ke-79 Menuju Visi Indonesia Emas 2045

Pembuktian bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi, dimana ketidakmampuannya membuktian bahwa dirinya tidak  bersalah tidak dengan sendirinya menghilangkan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa tersebut;

Menerangkan bahwa harta kekayaannya dan keluarganya bukan berasal dari korupsi

Selain sistem pembuktian tersebut di atas, terdapat pula sistem pembalikan beban pembuktian menurut Konvensi PBB.

Penerapan sistem pembalikan beban pembuktian ini disebutkan dalam beberapa konvensi yang diantaranya konvensi PBB tentang larangan perdagangan illegal narkotika dan bahan bahan psikotropika (1998), Konvensi PBB  yang menentang Tindak Pidana Transnasional Terorganisasi Tahun 2000 dan telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009, serta diatur dalam Konvensi PBB Anti-Korupsi Tahun 2003 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.

BACA JUGA:Jangan Biarkan Permisifitas Masyarakat terhadap Korupsi Meningkat

BACA JUGA:Mengenal Disorders of Sex Development (DSD)

Pada prinsipnya ketiga konvensi tersebut di atas menekankan pentingnya prosedur pembalikan beban pembuktian terhadap aset hasil kejahatan. Namun beberapa ahli hukum keberatan dalam penerapan reverse onus of proof karena dianggap bertentangan dengan asas praduga tak bersalah dan asas non self incrimination.

Kategori :