SUMATERAEKSPRES.ID - Praktisi hukum, Roy Riady SH MH, mengaku Di Indonesia, ide menerapkan pembalikan beban pembuktian dalam perkara korupsi sudah mulai dirumuskan secara normatif sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, sebagaimana termuat pada Pasal 17 ayat (1) sampai dengan Ayat (4) diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur bahwa :
Hakim dapat memperkenankan terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan memberikan keterangan tentang pembaktian bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
Keterangan tentang pembuktian yang dikemukakan oleh terdakwa bahwa ia tidak bersalah seperti dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dikerkenankan dalam hal:
Apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu menurut keinsyafan yang wajar tidak merugikan keuangan atau perekonomian negara, atau apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu dilakukan demi kepentingan umum.
BACA JUGA:PP No 28/2024: Legalisasi Zina untuk Remaja?
BACA JUGA:Demokrasi Dalam Pasungan
Dalam hal terdakwa dapat memberi keterangan tentang pembuktian seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang setidak-tidaknya menguntungkan baginya.
Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap mempunyai kewenangan untuk memberikan pembuktian yang berlawanan.
Apabila terdakwa tidak dapat memberikan keterangan tentang pembuktian seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipandang sebagai hal yang setidak-tidaknya merugikan baginya.
Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap diwajibkan memberi pembuktian bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
BACA JUGA:Keberatan Suara Bising Bengkel
BACA JUGA:Gelar Haji dan Fenomena Sosial Politik di Indonesia
Banyaknya praktik korupsi yang menimbulkan kekhawatiran bagi banyak pihak terhadap dampak buruk kejahatan korupsi, maka Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) pada masa itu menghendaki sistem pembalikan beban pembuktian.
Ahli hukum Oemar Seno Adji menyatakan bahwa penerapan pembalikan beban pembuktian secara absolut dan total akan menimbulkan potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia, khususnya pelanggaran terhadap asas “presumption of innocence” dan “non-self incrimination”.
Sehingga yang diterapkan dalam sistem pembalikan beban pembuktian ini hanya sekedar “shifting of burden proof” dengan memberikan kesempatan terdakwa untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi.