BACA JUGA:DLH Tetap Angkut Sampah di TPS Liar
Teori tersebut secara imperatif tetap menempatkan adanya kewajiban penuntut umum untuk membuktikan secara negatif menurut undang-undang (negatief wettelijke bewijs theorie), tentang aspek yang bersifat menyangkut status sosial terdakwa (persoon).
Apabila hal ini dapat dibuktikan, baru kemudian adalah kewajiban terdakwa melalui mekanisme pembalikan beban pembuktian untuk membuktikan serta menjelaskan bagaimana yang bersangkutan mampu dapat hidup dengan kekayaan yang ada, atau bagaimana kekayaannya tersebut berada di bawah kekuasaannya.
Pelaku yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi tetap mempergunakan jalur pidana dengan pembuktian secara negatif menurut undang-undang (negatief wettelijke bewijs theorie) terhadap kesalahan (schuld) pelaku.
Terhadap pengembalian harta kepemilikan pelaku tindak pidana korupsi dapat dipergunakan pembalikan beban pembuktian, karena dimensi ini relatif tidak bersinggungan dengan aspek HAM, tidak melanggar hukum acara pidana, hukum pidana materiil maupun instrumen hukum internasional.
BACA JUGA:Dua Nasihat Untuk Pergaulan
BACA JUGA:Menyiapkan Pendidik Profesional Di Era Society 5.0
Disatu sisi, untuk membuktikan kesalahan (schuld) pelaku tindak pidana korupsi tetap berpegangan pada ketentuan teori hukum pembuktian yang tetap mengedepankan teori pembuktian secara negatif menurut undangundang (negatief wettelijke bewijs theorie).
Untuk mengembalikan aset hasil dari tindak pidana korupsi, pembuktian terhadap kepemilikan harta kekayaan pelaku dilakukan dengan jalan menggunakan pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan (balanced probability of principles).
Pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan (balanced probability of principles) dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa teori ini dapat menjadi solusi penerapan pembalikan beban pembuktian dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terutama menyangkut asal usul harta kekayaan milik terdakwa.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa eksistensi pembalikan beban pembuktian pada ketentuan Pasal 37 A dan Pasal 38 B ayat (1) dan (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, didasarkan pada tujuan pengembalian aset (asset recovery) hasil tindak pidana korupsi.
BACA JUGA:Menyusutnya Minat Pemuda
BACA JUGA:Gamol, Pinjol Dan Judol Perusak Sendi-Sendi Kehidupan
Pengaturan mengenai pembalikan beban pembuktian dalam ketentuan Pasal 37 A dan Pasal 38 B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dinilai belumlah sepenuhnya dapat dikatakan sudah mengacu kepada “teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan (Balanced Probability of Principles)” dari Oliver Stolpe.
Ketentuan Pasal 37 A ayat (2), yang mengandung arti bahwa selain terdakwa diwajibkan untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, terdakwa juga diwajibkan memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan dan melakukan pembalikan beban pembuktian hanya dalam hal membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya yang patut di duga diperoleh dari hasil korupsi.
Hal ini berarti bahwa kepada terdakwa dibebankan untuk membuktikan 2 (dua) hal, yaitu Pertama, membuktikan unsur kesalahan (schuld) terdakwa, dan Kedua, melakukan pembuktian terhadap asal usul mengenai kepemilikan harta kekayaan pelaku yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi.