Dua Nasihat Untuk Pergaulan
Oleh: Dr H Syarif Husain SAg MSi Dosen/Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Palembang--
Kalian harus bergaul dengan para ulama dan mendengarkan nasihat para hukama, karena Allah Swt, menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah (ilmu yang bermanfaat), sebagaimana Dia menghidupkan tanah yang tandus dengan air hujan (HR. Thabrani)
SUMATERAEKSPRES.ID - DALAM pembahasan asbaabul wurudh al-hadits, pembahasan tentang keutamaan ulama dan majelis-majelisnya, bahwa Rasulullah mendahului sabdanya tersebut di atas dengan mukaddimah bahwa Luqman memberikan nasihat, didikan, wejangan kepada puteranya, dengan hadits tersebut di atas. Sehingga dapat dimaknai dan diambil hikmahnya bagi kita.
BACA JUGA:Hiduplah Sesuka Sesungguhnya Engkau Akan Jadi Mayit
BACA JUGA:Hikmah Pergantian Tahun Baru Hijriyah
Pertama, apabila kita ingin bahagia dan selamat hidup di dunia, maka kita dianjurkan agar senantiasa dekat dan bergaul dengan para ulama. Dengan bergaul dan senantiasa dekat dengan para ulama, maka kita akan kecipratan kebaikan-kebaikan darinya.
Perumpamaan apabila kita bergaul dengan tukang jualan minyak wangi maka tentu kita pun akan kecipratan wanginya.
Begitulah halnya pula manakala kita bergaul dengan para ulama, tentu kita juga akan mendapatkan kebaikan-kebaikan darinya.
Perumpamaan seperti ini pernah dikemukakan ulama terkenal pada akhir abad kedua hijriyah Hasan Al-Bashri, kata beliau bahwa orang alim itu memiliki keutamaan yang agung di sisi Allah.
Suara goresan penanya adalah tasbih, kitab karyanya adalah ilmu, memandang wajahnya adalah ibadah, tinta penanya setara dengan darahnya orang mati syahid.Nanti di Akhirat bakal dikumpulkan bersama para Anbiya.
Utamakanlah bergaul dengan ulama yang lurus. Apabila kita tidak mengetahui tentang segala sesuatu yang berurusan dengan keimanan, syariat bahkan muamalah, bertanyalah pada mereka.
Kita tauladani sunnah sebagaimana dalam hadits riwayat Imam Thabrani Rasulullah Saw, bersabda: Bergaullah dengan para tokoh dan bertanyalah kepada para ulama serta bersahabatlah dengan orang-orang bijak. (HR. Imam Thabrani).
Dalam memaknai dua hadits tersebut di atas sesungguhnya mengandung maksud bahwa ketiga-tiganya, baik itu para tokoh, para ulama dan orang-orang bijak adalah dikategorikan semuanya sebagai ulama.
Dengan rincian tingkatan bahwa ulama-ulama yang menguasai hukum-hukum Allah adalah ulama yang yang banyak mengeluarkan fatwa dengan permasalahan yang berkaitan dengan hukum-hukum syar’ie.
Adapun ulama yang menguasai ilmu-ilmu tentang Dzat-dzat Allah, (al-Asma’ wa shifat), atau yang lebih utama disebut ilmu makrifat, itulah mereka disebut hukama.