Teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan (balanced probability of principles) dari Oliver Stolpe dapat menjadi justifikasi teoritis untuk menerapkan pembalikan beban pembuktian.
Pembalikan beban pembuktian saat proses persidangan berlangsung, terdakwa juga dibebankan melakukan pembuktian mengenai unsur “menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili” dan unsur “menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang ada hubungannya dengan jabatannya (in zijn bedeming)”.
Unsur-unsur yang harus dibuktikan secara esensial merupakan pembuktian unsur-unsur yang terkait langsung dengan pembuktian kesalahan (schuld) dari terdakwa.
BACA JUGA:Hikmah Pergantian Tahun Baru Hijriyah
BACA JUGA:Peran Kepemimpinan Kolaboratif dalam Menghadapi Perubahan Cepat Di Perguruan Tinggi
Dengan dilakukannya pembalikan beban pembuktian terhadap unsur kesalahan (schuld) dari terdakwa dalam perkara ini, dengan sudut pandangan yang netral haruslah diakui bahwa hal tersebut menyebabkan beralihnya asas praduga tidak bersalah (presumption ofinnocent) menjadi asas praduga bersalah (presumption of guilt) dan relatif cenderung dianggap sebagai pengingkaran terhadap asas-asas yang telah berlaku secara universal.
Tidak dapat dipungkiri bahwa telah terjadi akses negatif dari pembalikan beban pembuktian karena pembalikan beban pembuktian tersebut ditujukan terhadap pembuktian kesalahan (schuld) dari terdakwa.
Dengan mengedepankan keseimbangan secara proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaan milik pelaku yang yang diduga kuat berasal dari korupsi disisi lainnya.
Suatu pembalikan beban pembuktian terdakwa harus dapat membuktikan secara berlawanan unsurunsur yang disangkakan terhadap terdakwa dengan menggunakan standar minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana yang dikehendaki oleh Pasal 183 KUHAP.
Memang hal ini sudah di muat dalam ketentuan Pasal 26 A Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hanya saja pengaturan mengenai hal ini masih belum lengkap dan memadai.
Dikatakan demikian karena ketentuan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mengatur secara tegas menyangkut hal-hal apa saja yang harus dibuktikan, instrumen apa saja yang dapat dijadikan sebagai alat bukti oleh terdakwa, dan sampai sejauh mana kewenangan dan batasan-batasan yang diberikan pada terdakwa dalam hal melakukan pembuktian.
Tidak dimuatnya hal tersebut dalam ketentuan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengakibatkan terdakwa tidak mempunyai acuan yang jelas dan tegas dalam melakukan pembuktian, hal tersebut akan merugikan terdakwa dan akan berpengaruh pada kualitas pembuktian yang dilakukan oleh terdakwa sendiri.
Pembalikan beban pembuktian memakai standar minimal 2 (dua) alat bukti sebagai mana yang dikehendaki oleh Pasal 183 KUHAP, namun tidaklah bisa disamaratakan antara perkara yang satu dengan perkara lainnya dan juga tidak bisa disamaratakan menyangkut kemampuan dan pengetahuan hukum antara terdakwa yang satu dengan terdakwa lainnya.
Dari itu hendaklah hal tersebut dimuat dalam ketentuan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pembalikan beban pembuktian yang dimuat dalam ketentuan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berlaku saat ini.
Hanya mengatur bahwa apabila terdakwa berhasil membuktikan bahwa apa yang diterimanya bukan merupakan suatu gratifikasi, atau penerimaan itu tidak ada hubungannya dengan jabatan atau kedudukannya atau dengan kewajiban atau tugasnya.