Pengaturan Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Perkara Tindak Pidana Korupsi

Sabtu 31 Aug 2024 - 20:57 WIB
Oleh: Iwan Irawan

Maka sesungguhnya sama artinya dengan terdakwa telah berhasil membuktikan bahwa dirinya tidak terbukti menerima gratifikasi yang dianggap berasal dari pemberian suap. 

Meskipun pada dasarnya, mengenai status telah berhasil atau tidak berhasilnya suatu pembalikan beban pembuktiaan yang dilakukan terdakwa beserta penasehat hukumnya tetap pada Majelis Hakim. 

Namun tidaklah adil rasanya bagi terdakwa, apabila Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mengatur tentang apa yang dijadikan parameter oleh hakim untuk dapat menyatakan berhasil atau tidaknya pembuktian yang dilakukan oleh terdakwa tersebut. 

Dengan kata lain harusnya ada pengaturan yang jelas dan tegas mengenai tolak ukur tentang berhasil atau tidaknya pembalikan beban pembuktian yang dilakukan oleh terdakwa. 

Ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mengatur secara jelas dan tegas mengenai pada saat kapan penerapan pembalikan beban pembuktian atau dengan kata lain, pada agenda sidang yang manakah dilaksanakan diterapkan pembalikan beban pembuktian tersebut. 

Ditambah lagi dengan adanya perbedaan ketentuan Pasal 38 A dengan ketentuan Pasal 38 B ayat (4). Ketentuan Pasal 38 A mengatur bahwa: “Pembuktian sebagai-mana dimaksud Pasal 12 B ayat (1) dilakukan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan.” Dalam ketentuan pasal ini tidaklah disebutkan secara tegas, dalam agenda sidang apa dilaksanakan penerapan pembalikan beban pembuktian tersebut. 

Sementara ketentuan Pasal 38 B ayat (4) menyebutkan: “Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi. 

Perbedaan pendapat dan perbedaan pemahaman antara para ahli hukum dan para penegak hukum terutama kalangan hakim di Indonesia yang masih menganggap bahwa pembalikan beban pembuktian melanggar asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), akan mempersulit penerapan pembalikan beban pembuktian dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. 

Bila dikaji dari perspektif kebijakan hukum pidana, eksistensi pembalikan beban pembuktian seharusnya mengandung prevensi khusus bagi tindak pidana korupsi yang dikategorikan sebagai extra ordinary crime yang juga membutuhkan extra ordinary enforcement dan extra ordinary measures. Sehingga formulasi mengenai pembalikan beban pembuktian masih menimbulkan perdebatan.

Kategori :