https://sumateraekspres.bacakoran.co/

Mengenal Disorders of Sex Development (DSD)

dr Ziske Maritska MSi Med. Dosen dan Konselor Genetik Bagian Biologi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang-foto: ist-

SUMATERAEKSPRES.ID - Akhir-akhir ini dunia dihebohkan oleh berita mengenai Imane Khelif, seorang petinju asal Algeria yang banyak dibicarakan saat mengikuti ajang Olimpiade 2024 Paris. Perjalanan karis Imane sebagai seorang petinju mendadak mengalami kontroversi karena banyak orang yang meragukan jenis kelamin Imane.

Dari berbagai berita yang berseliweran di media massa baik nasional maupun internasional, Imane diduga mengalami suatu kondisi gangguan perkembangan seksual, atau dalam istilah medisnya dikenal dengan terminology Disorders of Sex Development (DSD).

KasusImane ini akhirnya membuka mata public terhadap suatu kondisi medis yang dulu dikenal dengan istilah ‘interseks’, atau ‘hermaprodit’. 

Berdasarkan konsensus internasional di Chicago pada tahun 2006, DSD didefinisikan sebagai kelompok kelainan congenital yang dikarakterisasi oleh perkembangan kromosom, gonad, atau anatomiseks yang atipikal atau tidak biasa. DSD lebih lanjut dapat diklasifikasi ke dalam tiga kategori utama berdasarkan kromosom yang dimiliki oleh penyandangnya sebagai berikut: (1) 46, XY DSD, (2) 46, XX DSD, dan (3) Kromosom seks DSD. Masing-masing kelompok ini akan menaungi beragam kondisi lainnya. Jika kelompok 46, XY DSD dan 46, XX DSD memiliki kromosom seks yang normal namun mengalami gangguan perkembangan gonad dan gangguan kerja serta fungsi hormon androgen, maka kelompok kromosom seks DSD akan memiliki kromosom seks yang abnormal, contohnya seperti 45, X pada Sindroma Turner dan 47, XXY pada Sindroma Klinefelter. 

BACA JUGA:Setop Kekerasan Seksual Pada Anak, Berikut 7 Tips dari IDAI

BACA JUGA:Mengapa 19 Juni Diperingati sebagai Hari Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Konflik? Ini Jawabannya!

Mayoritas kasus DSD dapat diidentifikasi segera setelah lahir akibat adanya kondisi ambigus genitalia atau kerancuan jenis kelamin. Namun tidak jarang DSD juga baru terdiagnosa di usia anak-anak, remaja, bahkan dewasa. Meski beberapa kasus DSD ada yang baru teridentifikasi di usia anak-anak atau remaja akibat perjalanan alamiah penyakitnya, namun seringkali penyandang DSD mengalami keterlambatan diagnosis akibat berbagai faktor, salah satunya adalah karena DSD merupakan suatu kondisi medisyang kompleks dengan variabilitas klinis yang luas, Variabilitas klinis yang luas di sini merujuk pada bervariasinya temuan dari hasil pemeriksaan fisik kelamin luar, organ reproduksi dalam, kadar berbagai hormon, hingga hasil pemeriksaan kromosom yang kesemuanya akan menimbulkan tantangan tersendiri dalam upaya penegakan diagnosis DSD. Penyebab lainnya yang berkontribusi terhadap keterlambatan diagnosis DSD adalah masih kurang memadainya tingkat pengetahuan dan pemahaman baik tenaga medis maupun masyarakat umum mengenai DSD itu sendiri, seperti yang terjadi di Negara kita Indonesia.

Keterlambatan usia diagnosis ini tentu saja akan menghambat upaya pengelolaan pasien DSD secara maksimal yang pada akhirnya akan memengaruhi luaran dari pasien, baik fisik maupun psikis. Beban kondisi DSD tidak hanya dirasakan oleh penderitanya namun juga anggota keluarga, pun sistem kesehatan secara umum. Dengan semua tantangan yang dialami, sudahsaatnya DSD menjadi sorotan dan mendapatkan perhatian yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas hidup penyandangnya, dan juga memberikan dukungan bagi anggota keluarga. Upaya edukasi kesehatan terkait DSD terhadap baik para tenaga medis dan masyarakat umum merupakan salah satu tindakan nyatayang dapat dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan dan awareness terhadap DSD untuk kemudian diharapkan dapat meningkatkan upaya identifikasi dan piñata laksanaan dini untuk meningkatkan kualitas hidup penyandang dan keluarga dengan DSD.  (*)

 

 

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan