Tindak Pidana Korupsi Gratifikasi
Roy Riady, SH, MH--
3. Unsur “dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya”
BACA JUGA:Kode Redeem Honor of Kings 9 September 2024: Klaim Skin dan Item Gratis dan Eksklusif!
BACA JUGA:14 Jenis Tanaman yang Cocok Ditanam Saat Musim Penghujan
Bahwa dalam tindak pidana korupsi penerimaan gratifikasi ini tidak cukup hanya memenuhi unsur adanya pemberian kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara semata, namun suatu gratifikasi tersebut barulah “dianggap pemberian suap”, apabila:
“berhubungan dengan jabatannya”;
“dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas” dari pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut.
Untuk dapat memahami lebih jelas mengenai makna yang terkandung dalam membuktikan unsur ini, selanjutnya kita dapat berpedoman pada pengertian doktrin yang terkait, sebagaimana yang telah kami uraikan sebelumnya pada pembahasan unsur-unsur dakwaan Kesatu, sebagai berikut:
Terhadap pengertian “berhubungan dengan jabatannya”, Prof. Andi Hamzah berpendapat bahwa pengertian berhubungan dengan “jabatan” (inzijn bediening) lebih luas daripada yang biasa dipikirkan orang, karena kata-kata berhubungan dengan “jabatannya” itu tidaklah perlu bahwa pejabat itu berwenang untuk melakukan jasa-jasa yang diminta daripadanya.
Akan tetapi cukup bahwa jabatannya memungkinkan untuk berbuat demikian (Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Edisi Revisi, Penerbit PT. Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal.209).
Terhadap pengertian “berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya”, menurut R. Wiyono dijelaskan bahwa pada setiap jabatan dari pegawai negeri atau penyelenggara negara selalu terdapat atau melekat kewajiban yang harus dilaksanakan baik berbuat maupun untuk tidak berbuat dalam jabatannya.
Seseorang pegawai negeri atau penyelenggara negara dalam melaksanakan tugasnya dikatakan “bertentangan dengan kewajibannya” jika terdapat keadaan sebagai berikut :
telah berbuat sesuatu padahal berbuat sesuatu tersebut tidak merupakan kewajiban yang terdapat atau melekat pada jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang bersangkutan.
Telah tidak berbuat sesuatu padahal tidak berbuat sesuatu tersebut merupakan kewajiban yang terdapat atau melekat pada jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang bersangkutan, atau dengan kata lain justru pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut harus berbuat sesuatu sesuai dengan kewajibannya yang terdapat atau melekat pada jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang bersangkutan.
(R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, Edisi Kedua, 2009, hal. 61).
Pendapat serupa dikemukakan Darwan Prints, yang menyatakan terhadap pengertian “bertentangan dengan kewajiban” berarti bertentangan dengan tugas atau apa yang harus dilakukan (Darwan Prints, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penerbit Citra Adhitya Bhakti, 2002, hal. 54).