Imitasi dalam Teknologi dan Kecerdasan Buatan: Membangun atau Mengganggu?
Muhammad Isnaini (Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Raden Fatah Palembang)-ist-
Dalam dunia AI, prinsip ini diterjemahkan dalam bentuk machine learning, di mana mesin “belajar” dari data yang telah ada untuk mengidentifikasi pola dan membuat keputusan. Misalnya, algoritma deep learning dapat meniru proses pengambilan keputusan manusia berdasarkan data yang diberikan, sehingga mesin dapat melakukan tugas yang sebelumnya hanya bisa dilakukan oleh manusia.
Namun, meskipun kemampuan ini memberikan manfaat besar dalam efisiensi dan otomatisasi, Nick Bostrom (2014) dalam bukunya Superintelligence mengingatkan bahwa imitasi dalam konteks AI juga dapat menyebabkan hilangnya kreativitas dan kontrol manusia. Bostrom mengkhawatirkan bahwa AI yang terlalu mengandalkan imitasi tanpa pengawasan manusia dapat menyebabkan “superintelligence” yang mungkin keluar dari kendali dan bertindak di luar kendali etika atau kepentingan manusia. Oleh karena itu, evaluasi terhadap imitasi dalam AI harus memperhitungkan potensi risiko tersebut dan pentingnya kontrol manusia yang berkelanjutan.
3. Dilema Etika dan Sosial dalam Imitasi AI
Salah satu masalah paling mendesak yang muncul dengan penggunaan imitasi dalam AI adalah potensi dampak etis dan sosial yang ditimbulkannya. Sebagai contoh, Generative Adversarial Networks (GANs), yang memungkinkan pembuatan gambar dan video tiruan yang sangat realistis, telah digunakan untuk menghasilkan deepfakes—video yang meniru tindakan atau ucapan seseorang secara sempurna. Meskipun GANs memberikan kesempatan untuk menciptakan karya seni digital atau inovasi dalam film, teknologi ini juga dapat disalahgunakan untuk manipulasi informasi, penyebaran hoaks, dan pelanggaran privasi (Goodfellow et al., 2014).
Masalah ini terkait erat dengan ketergantungan AI pada data pelatihan yang sering kali mengandung bias. Dalam konteks AI, imitation bias dapat terjadi jika data yang digunakan untuk melatih model AI mencerminkan stereotip atau ketidakadilan dalam masyarakat. Seperti yang dicatat oleh Kate Crawford dalam bukunya Atlas of AI (2021), data yang digunakan untuk melatih algoritma AI sering kali tidak lengkap atau bias, sehingga mesin yang belajar dari data tersebut akan mengulang dan memperkuat ketidakadilan yang ada dalam masyarakat.
Maka dari itu, evaluasi terhadap imitasi dalam AI harus mencakup penilaian tentang bagaimana data dikumpulkan, siapa yang memiliki akses ke data, dan bagaimana data tersebut dapat mempengaruhi hasil yang dihasilkan oleh AI. Tanpa pemahaman yang mendalam tentang aspek etika ini, imitasi dalam AI dapat memperburuk ketimpangan sosial dan menciptakan kesenjangan yang lebih besar.
4. Kreativitas Manusia vs Mesin: Implikasi Filosofis
Di sisi lain, keberadaan AI yang meniru kreativitas manusia juga memunculkan pertanyaan tentang otoritas dan hak cipta dalam seni dan inovasi. Jika sebuah mesin dapat meniru karya seni atau tulisan manusia dengan kualitas yang sangat tinggi, apakah karya tersebut masih dianggap sebagai karya manusia? Arthur Danto, dalam karya-karyanya tentang seni dan estetika, mengajukan pertanyaan mengenai “karya seni asli” dan bagaimana kita menilai keaslian dalam karya-karya yang dihasilkan oleh teknologi (Danto, 1981).
Jika AI hanya meniru apa yang sudah ada, apakah ia benar-benar berinovasi? David Cope (2001), dalam konteks musik komputer, menjelaskan bahwa meskipun komputer dapat meniru gaya musik tertentu, hal itu tidak berarti bahwa ia menciptakan sesuatu yang benar-benar baru. Oleh karena itu, evaluasi terhadap imitasi dalam AI juga harus mempertimbangkan apakah mesin benar-benar mampu berinovasi atau hanya melakukan duplikasi dari apa yang sudah ada.
Mengevaluasi kembali peran imitasi dalam teknologi dan AI memerlukan pendekatan yang holistik, yang tidak hanya melihatnya sebagai alat untuk efisiensi, tetapi juga mempertimbangkan dampak etika, sosial, dan filosofis yang ditimbulkannya. Meskipun imitasi berfungsi sebagai alat pembelajaran yang kuat dalam AI, ia juga membawa risiko besar terkait dengan bias, kontrol sosial, dan hilangnya kreativitas manusia.
Dengan demikian, penting mengembangkan prinsip-prinsip etika yang jelas dan memastikan bahwa teknologi AI digunakan untuk mendukung, bukan menggantikan, potensi manusia dalam menciptakan dan berinovasi. Perkembangan AI yang mampu meniru pola pikir manusia, suara, atau visual secara sempurna telah menjadi salah satu inovasi teknologi paling revolusioner dalam beberapa dekade terakhir. AI dapat melakukan simulasi tinggi terhadap kemampuan manusia. (*)