Imitasi dalam Teknologi dan Kecerdasan Buatan: Membangun atau Mengganggu?
Muhammad Isnaini (Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Raden Fatah Palembang)-ist-
SUMATERAEKSPRES.ID- Imitasi merupakan salah satu prinsip mendasar dalam pengembangan teknologi dan kecerdasan buatan (AI). Dari mesin cetak yang meniru tulisan tangan hingga algoritma deep learning yang meniru pola pengambilan keputusan manusia, imitasi telah menjadi strategi utama dalam menciptakan teknologi yang semakin maju.
Namun muncul pertanyaan mendasar, apakah imitasi ini membantu membangun kemajuan teknologi atau justru mengganggu kreativitas dan inovasi manusia? Dalam konteks kecerdasan buatan, imitasi berperan penting dalam berbagai bidang, seperti pengenalan wajah, pemrosesan bahasa alami, hingga pembuatan konten kreatif.
Sebagai contoh, Generative Adversarial Networks (GANs) digunakan untuk menghasilkan gambar atau video realistis dengan meniru pola dari data pelatihan. Teknik ini dianggap revolusioner karena mampu menciptakan karya yang menyerupai hasil manusia, tetapi pada saat yang sama menimbulkan kekhawatiran terkait otentisitas dan manipulasi informasi (Goodfellow et al., 2014).
BACA JUGA:Dukung Literasi Digital Guru SMP, Berbantuan Kecerdasan Buatan
Menurut Mimesis Theory yang dipopulerkan oleh Rene Girard, imitasi adalah mekanisme dasar dalam proses belajar manusia. Namun, Girard juga menekankan bahwa imitasi dapat memicu konflik jika diterapkan tanpa etika dan tujuan yang jelas. Dalam konteks teknologi, misalnya, imitasi tanpa batas dapat menyebabkan pelanggaran hak cipta, monopoli teknologi, atau bahkan kerentanan terhadap serangan siber berbasis imitasi (Girard, 1965).
Studi terkini menunjukkan bahwa imitasi dalam AI memiliki dua sisi mata uang. Di satu sisi, imitasi memungkinkan transfer pengetahuan yang lebih cepat dan efisien, seperti yang terlihat dalam algoritma reinforcement learning. Di sisi lain, imitasi juga mengaburkan batas antara karya asli dan tiruan, yang dapat mengancam profesi kreatif seperti seniman, penulis, dan musisi. Penelitian dari OpenAI (2023) menyoroti bahwa generasi konten berbasis AI harus dilengkapi dengan panduan etika yang kuat untuk menghindari dampak negatif seperti deepfake atau penyalahgunaan data pelatihan.
Imitasi juga memunculkan dilema moral dan sosial. Sebagai contoh, ChatGPT dan model sejenisnya dapat meniru percakapan manusia dengan sangat baik, tetapi masih memiliki risiko bias dan misinformasi yang berasal dari data pelatihan. “Imitasi harus digunakan sebagai alat bantu, bukan pengganti kreativitas manusia,” kata Marcus (2023), seorang kritikus teknologi.
BACA JUGA:Peran Penting Temuan Al Kahwarizmi dalam Perkembangan Coding dan Kecerdasan Buatan (AI)
BACA JUGA:Cek Kecanggihan Teknologi E-Handling di All New SANTA FE: Stabilitas Tinggi, Aman Maksimal!
Dengan demikian, penting untuk mengevaluasi kembali peran imitasi dalam teknologi dan AI. Apakah ia benar-benar menjadi katalis untuk pembangunan dan kemajuan? Ataukah, jika tidak diawasi dengan baik, ia justru akan mengganggu tatanan sosial dan etika yang ada? Melalui penelitian ini, diharapkan dapat ditemukan pendekatan yang seimbang, di mana imitasi menjadi alat untuk memperkuat kreativitas dan inovasi, bukan untuk mengikisnya. Imitasi telah lama menjadi landasan dalam pengembangan teknologi, termasuk dalam AI.
Penggunaan imitasi di bidang ini membawa dampak yang sangat luas, baik positif maupun negatif. Oleh karena itu, perlu ada evaluasi yang lebih mendalam mengenai bagaimana imitasi dapat dilihat sebagai alat bantu dalam pembangunan teknologi, ataukah ia berisiko mengganggu proses inovasi dan etika manusia. Evaluasi ini tidak hanya mencakup aspek teknis, tetapi juga etika, sosial, dan filosofis. Dalam analisis ini, penulis akan mengulas berbagai teori dan pemikiran yang relevan untuk mengevaluasi peran imitasi dalam konteks teknologi dan AI.
1. Teori Imitasi dalam Pers-pektif Filsafat dan Sosial
Imitasi tidak hanya menjadi fokus dalam dunia teknologi, tetapi juga dalam filosofi. Rene Girard, dalam teori Mimesis-nya, menyatakan bahwa imitasi adalah dasar dari perilaku manusia. Menurut Girard, manusia sering meniru perilaku orang lain dalam bentuk keinginan, mimpi, atau kekerasan. Mimesis dapat berfungsi sebagai alat untuk memahami dunia dan belajar, namun jika tidak terkontrol, ia dapat menghasilkan konflik sosial dan kekerasan (Girard, 1965).
Dalam konteks AI, imitasi membawa dilema serupa: apakah peniruan kecerdasan manusia oleh mesin ini dapat menciptakan ketegangan antara manusia dan teknologi? Di sisi lain, Michel Foucault mengemukakan bahwa imitasi dalam konteks sosial juga sering kali digunakan sebagai alat untuk mengontrol dan membentuk pengetahuan. Foucault menyatakan bahwa pengetahuan yang dihasilkan melalui imitasi dapat dibentuk oleh kekuasaan yang ada, menciptakan sistem yang tertutup dan mendominasi.
Dalam hal ini, AI yang meniru pola-pola manusia dapat memperburuk ketimpangan informasi dan menciptakan “pengetahuan palsu” atau bias yang didorong oleh data yang tidak representatif (Foucault, 1975). Oleh karena itu, peran imitasi dalam AI seharusnya tidak hanya dievaluasi secara teknis, tetapi juga dari segi potensi dominasi dan kontrol sosial.
2. Imitasi sebagai Alat Pembelajaran dan Inovasi
Salah satu alasan utama mengapa imitasi sangat penting dalam pengembangan teknologi, khususnya AI, adalah kemampuannya untuk menjadi alat pembelajaran. Albert Bandura, dalam teori pembelajaran sosialnya, menunjukkan individu belajar melalui pengamatan dan peniruan terhadap perilaku orang lain (Bandura, 1977).