Eksistensi Lembaga Survei Pemilu di Indonesia, Ini Sejarahnya

Ilustrasi Lembaga Survei Pemilu di Indonesia-Foto: freepik-

Saat itu, tidak ada reaksi keras pada survei tersebut. Pada tahun yang sama, majalah Matra melakukan survei yang menyimpulkan bawa satu dari tiga pria memiliki “selingkuhan”, survei ini ditentang dan diragukan metodologinya. 

Keseni

Dari fenomena ini tampak jika masyarakat semakin berani mengekspresikan sikap sehingga kontrol riset sosial bukan hanya dari rezim yang berkuasa, masyarakat sipil pun dapat bertindak terhadap hasil riset yang tidak sejalan dengan pemikiran mereka.

Di negara maju seperti Amerika Serikat terdapat lembaga riset seperti Gallup Pol, Harris Pol, Crossley Pol dan Ropper yang mengukur apa yang dipikirkan warga pada pemerintahan, serta menggali penilaian dan harapan pada pemimpin mereka. 

BACA JUGA:Inilah Sejarah dan Filosofi Warna Merah yang Mendominasi Perayaan Imlek

BACA JUGA:Asal Usul Wayang Po Te Hi: Berawal dari Penjara Hingga Jadi Panggung Kesenian

Dimulai dengan Robert Gallup pada pertegahan tahun 1930-an yang memperkenalkan metode pengambilan sampel yang lebih baik daripada Literary Digest yang mengambil sampel tidak merata dan dianggap terlalu boros.

Menurut Marcus Mietzner, lembaga riset jajak pendapat tidak mungkin lahir di negara-negara otoriter karena dikhawatirkan akan dapat memperburuk ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah.

Dalam artikelnya yang berjudul “Political Opinion Polling in Post-authoritarian Indonesia: Catalyst or Obstacle to Democratic Consolidation?”, Mietzner menguraikan bahwa jajak pendapat yang bertemakan politik hanya lahir di negara-negara yang memenuhi dua syarat dasar, yaitu adanya kebebasan sipil dan politik yang substansial dan adanya survei profesional yang mampu mengambil sampel masyarakat dalam jumlah besar. 

Dua hal syarat tersebut tidak mungkin terjadi di negara otoriter atau pseudo-demokratis yang sudah pasti akan menghambat proses pengambilan jajak pendapat serta penyebaran hasil riset tersebut.

Pada masa pemerintahan Soeharto, mustahil untuk melakukan jajak pendapat opini publik pada kebijakan pemerintah apalagi bicara popularitas pemimpin saat itu.

Meitzner melanjutkan bahwa antara tahun 1959 hingga 1998, Indonesia dipimpin oleh rezim otoritarian yang hanya memberi sedikit ruang pada opini publik.

Pada pemilu 1997, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Sosial dan Ekonomi (LP3ES) melakukan survei hitung cepat (quick count) di kawasan Jakarta.

Namun, situasi politik di bawah Soeharto masa itu tidak memungkinkan LP3ES mempublikasikan hasil riset mereka.

Tumbangnya Soeharto tahun 1998 membesarkan nyali lembaga riset sosial seperti LP3ES, Resource Productivity Center (RPC), International Foundation for Election System (IFES), Komite Pemberdayaan Pemilih (KPP), Laboratorium Politik Universitas Indonesia dan Litbang Kompas.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan