Jaga Rupiah, Naikkan Suku Bunga
--
*Supaya Tak Ambles
PALEMBANG - Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bps) jadi 6 persen, Kamis (19/10). Kenaikan ini untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah dari dampak meningkat tingginya ketidakpastian global.
Serta sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi dampak terhadap inflasi barang impor (imported inflation). Sehingga inflasi tetap terkendali dalam sasaran 3 persen 2023 dan 2,5 persen di 2024.
Gubernur BI, Perry Warjiyo menuturkan perekonomian global melambat dengan ketidakpastian yang semakin meningkat tinggi. Pertumbuhan ekonomi global diprakirakan melemah disertai divergensi pertumbuhan antarnegara semakin melebar. Tahun ini diprakirakan sebesar 2,9 persen. Kemudian melambat 2,8 persen tahun depan dengan kecenderungan risiko lebih rendah.
“Ekonomi Amerika Serikat (AS) pada 2023 masih tumbuh kuat terutama ditopang oleh konsumsi rumah tangga dan sektor jasa yang berorientasi domestik. Sedangkan Tiongkok melambat dipengaruhi oleh pelemahan konsumsi dan penurunan kinerja sektor properti,” ucap Perry.
Meningkatnya ketegangan geopolitik mendorong harga energi dan pangan meningkat. Sehingga mengakibatkan tetap tingginya inflasi global. Untuk mengendalikan inflasi, suku bunga kebijakan moneter di negara maju, termasuk Federal Funds Rate (FFR), tampaknya tetap bertahan tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama (higher for longer).
Kenaikan suku bunga global diperkirakan akan diikuti pada tenor jangka panjang dengan kenaikan yield obligasi pemerintah negara maju, khususnya US Treasury. Sejalan dengan peningkatan kebutuhan pembiayaan utang pemerintah AS dan kenaikan premi risiko jangka panjang.
Berbagai perkembangan tersebut mendorong pembalikan arus modal dari negara emerging market economies (EMEs) ke negara maju dan ke aset lebih likuid. “Ini mengakibatkan dolar AS menguat tajam terhadap berbagai mata uang dunia.
Karenanya memerlukan penguatan respons kebijakan untuk memitigasi dampak negatif rambatan global terhadap ketahanan ekonomi domestik di negara-negara EMEs, termasuk Indonesia,” jelas lulusan Iowa State University itu.
Kuatnya USD menyebabkan tekanan pelemahan berbagai mata uang negara lain, termasuk nilai tukar rupiah. Dibandingkan akhir 2022, indeks nilai tukar USD terhadap mata uang utama (DXY) pada 18 Oktober 2023 tercatat tinggi. Yakni di level 106,21 atau menguat 2,60 persen year-to-rate (YtD).
Sangat kuatnya mata uang Negri Paman Sam itu memberi tekanan depresiasi mata uang hampir seluruh mata uang dunia, seperti yen Jepang (JPY), dolar Australia (AUD), dan Euro (EUR) masing-masing melemah 12,44 persen, 6,61 persen, dan 1,40 persen YtD.
Di Asia Tenggara, ringgit Malaysia, baht Thailand, dan peso Filipina masing-masing terdepresiasi 7,23 persen, 4,64 persen, dan 1,73 persen YtD. Sedangkan rupiah terdepresiasi 1,03 persen YtD. (jp/fad)