Pancasila Hijau: Ecoteologi Sebagai Perekat Bangsa Dalam Menghadapi Krisis Iklim
Muhammad Isnaini (Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Raden Fatah Palembang)-foto: ist-
SUMATERAEKSPRES.ID - Di Tengah Ancaman Krisis Iklim: Pancasila Hijau sebagai Fondasi Indonesia Raya Lestari.
Di tengah ancaman krisis iklim yang semakin nyata, Indonesia menghadapi tantangan ganda: menjaga persatuan bangsa di tengah keberagaman suku, agama, dan budaya, sekaligus melindungi lingkungan hidup dari degradasi yang mengancam keberlangsungan hidup.
Banjir bandang yang merendam ribuan hektare lahan di Jawa dan Sumatera, serta kebakaran hutan yang melahap jutaan hektare di Kalimantan dan Papua, bukan sekadar bencana alam, melainkan juga ancaman terhadap fondasi persatuan bangsa.
Krisis ini kerap memicu konflik sosial, seperti perebutan sumber daya air dan lahan, yang berpotensi merusak ikatan kebersamaan. Tema Hari Kesaktian Pancasila 2025, “Pancasila Perekat Bangsa Menuju Indonesia Raya”, menjadi pijakan strategis untuk membangun visi Indonesia Raya yang ramah lingkungan.
Dari sinilah konsep Pancasila Hijau muncul sebagai reinterpretasi Pancasila melalui lensa ecoteologi, yakni etika moral yang menyatukan umat beragama dalam tanggung jawab ekologis.
BACA JUGA:Perubahan Iklim 2025: Pertanian Tertekan, Harga Pangan Melonjak
BACA JUGA:Kemarau Basah Hujan di Puncak Kemarau, Sinyal Anomali Iklim yang Mengguncang
Reinterpretasi Pancasila melalui Lensa Ecoteologi
Ecoteologi, atau teologi lingkungan, adalah pendekatan teologis yang mengintegrasikan ajaran agama dengan kepedulian terhadap alam sebagai ciptaan Tuhan. Konsep ini menantang paradigma antroposentris—pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat segalanya—serta mendorong harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan.
Di Indonesia, ecoteologi dikembangkan oleh Kementerian Agama melalui gagasan KH Nasaruddin Umar, yang menekankan bahwa menjaga bumi adalah kewajiban iman, bukan sekadar aktivisme lingkungan. Pemikiran ini berakar pada kritik Lynn White Jr. dalam esainya “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis” (1967), yang menyingkap akar spiritual krisis ekologi di Barat, lalu diadaptasi menjadi panggilan interreligius untuk melakukan “pertobatan ekologis”.
Melalui ecoteologi, Pancasila dibaca ulang dalam dimensi ekologis:
Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar etika moral bahwa alam adalah amanah Tuhan; merusaknya sama dengan melanggar perintah ilahi. Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab menuntut keadilan iklim, melindungi kelompok rentan seperti petani dan nelayan yang terdampak banjir atau gagal panen.
Sila Ketiga: Persatuan Indonesia menegaskan ecoteologi sebagai perekat bangsa; lintas agama bersatu dalam gotong royong menjaga kelestarian alam. Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan mendorong pengambilan keputusan yang inklusif, melibatkan masyarakat adat, ilmuwan, aktivis lingkungan, hingga pelaku industri.
