Sumatera Ekspres | Baca Koran Sumeks Online | Koran Sumeks Hari ini | SUMATERAEKSPRES.ID - SUMATERAEKSPRES.ID Koran Sumeks Hari ini - Berita Terhangat - Berita Terbaru - Berita Online - Koran Sumatera Ekspres

https://sumateraekspres.bacakoran.co/

Mitsubishi baru

Disrupsi Digital dan Ancaman Baru Bagi Keamanan Anak dari Cyberbullying Hingga Predator Online

Muhammad Isnaini (Pengamat Pendidikan/Dekan Fakultas Saintek UIN Raden Fatah Palembang)-Foto : Ist-

Ironisnya, sebagian anakmenganggap perilaku tersebut “normal” karena sering melihatnya di media sosial dan game online. Fenomena ini semakin serius karena banyak anak tidak lagi mampu membedakan antara kekerasan digital dan humor yang diterima secara sosial. Dalam perspektif desensitisasi media (Huesmann, 2007), paparan berulang terhadap konten agresif membuat anak kehilangan sensitivitas moral, sehingga perilaku menyakiti orang lain di ruang digital dianggap lumrah. 

Ketika agresi menjadi bagian dari “budaya online”, korban cyberbullying tidak hanya mengalami penderitaan psikologis, tetapi juga kehilangan dukungan sosial karena teman sebaya memandang kekerasan tersebut sebagai bagian dari dinamika digital yang “biasa”. Dalam ekosistem seperti ini, respon empati melemah, solidaritas merosot, dan ruang digital berubah menjadi arena yang membiarkan pelaku berkembang, sementara korban membungkam diri dalam isolasi emosional yang semakin dalam.

BACA JUGA:GEELY EX5, Perpaduan Teknologi Volvo dan Kecepatan Lotus yang Mengguncang Segmen SUV Listrik

BACA JUGA: Inovasi Mobil Listrik 2025: Lompatan Besar pada Jarak Tempuh dan Teknologi Cerdas

Predator Online dan Proses Manipulasi Emosional Anak

Ancaman lain yang tumbuh tak kalah mengkhawatirkan adalah predator online yang memanfaatkan kerentanan anak. Proses online grooming biasanya dimulai dengan percakapan sederhana dan perhatian hangat. Lalu berlanjut pada manipulasi, eksploitasi kepercayaan, hingga permintaan foto atau video berisiko. Banyak anak tidak menyadari bahwa mereka sedang dijebak.

Dalam kacamata Routine Activity Theory (Cohen & Felson, 1979), kejahatan terjadi ketika ada pelaku bermotivasi, target yang rentan, dan ketiadaan penjaga. Kondisi ini tepat menggambarkan situasi digital hari ini. Anak-anak mengakses internet seorang diri, orang tua sibuk, guru tidak siap memberikan edukasi keamanan digital, dan platform digital belum sepenuhnya mampu bertindak sebagai penjaga yang efektif. Predator memanfaatkan celah ini dengan sangat lihai.

Laporan ECPAT Indonesia dan Kominfo (2023) menunjukkan kenaikan signifikan kasus eksploitasi seksual anak berbasis online (OSEAC). Banyak kasus berawal dari media sosial, aplikasi pesan instan, hingga game online interaktif yang memberi ruang percakapan privat antara anak dan pelaku. Jika dulu bahaya datang dari orang asing di jalan, kini predator berada di dalam ponsel yang dibawa anak tidur setiap malam.

BACA JUGA:Empat Lawang Transformasi Pertanian Berbasis Teknologi

BACA JUGA:Jadi Panggung Teknologi Hybrid Baru, 1.000 Km Bersama Darion PHEV

Paparan Konten Berbahaya dan Krisis Pembelajaran Sosial Anak

Selain kejahatan digital, tantangan lain muncul dari arus konten digital yang tak terkendali. Algoritma media sosial, seperti dipaparkan Zuboff (2019), dirancang untuk memaksimalkan engagement, bukan keamanan. Akibatnya, anak terus disodori konten yang ekstrem, sensasional, atau manipulatif. Perubahan cepat ini membuat anak-anak berada dalam ekosistem digital yang kerap tidak memiliki pagar etis maupun batas sosial yang jelas. Mereka berinteraksi di ruang yang tidak mengenal hirarki usia, norma komunitas, atau mekanisme kontrol alami sebagaimana dalam dunia nyata. Ketika batas antara ruang privat dan public melebur, anak menjadi semakin terekspos pada risiko—mulai dariperundungan, eksploitasi, hingga paparan nilai dan perilaku yang belum mampu mereka tapis secara kognitif maupun emosional. 

Kondisi ini menegaskan bahwa disrupsi digital bukan sekadar fenomena teknologi, tetapi transformasi budaya yang menuntut kapasitas adaptif baru dari seluruh actor sosial, terutama orang tua dan sekolah, yang selama ini menjadi garda terdepan perlindungan anak.

Dampaknya tidak ringan. Menurut teori Social Learning Bandura (1977), anak belajar dengan meniru apa yang mereka lihat. Artinya, paparan kekerasan, ujaran kebencian, pornografi, dan konten merusak lain berpotensi mempengaruhi pola pikir, perilaku, dan moralitas mereka. Fenomena doom scrolling dan kecanduan layar mulai muncul pada usia yang semakin muda, menyebabkan gangguan tidur, penurunan konsentrasi, bahkan masalah perilaku.

Kerap kali, konten yang tampak tidak berbahaya—seperti prank, tantangan viral, atau video komedi agresif—justru menormalkan perilaku merugikan orang lain. Dalam banyak kasus, anak gagal melihat dampak jangka panjang karena kemampuan regulasi emosi dan kontrol diri mereka belum matang. Gottfredson & Hirschi (1990) menegaskan bahwa individu dengan kontrol diri rendah lebih rentan melakukan tindakan impulsif dan agresif. Sementara Goleman (1995) menjelaskan bahwa kecerdasan emosional yang belum berkembang akan menghambat kemampuan anak memahami risiko moral komunikasinya.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan