Disrupsi Digital dan Ancaman Baru Bagi Keamanan Anak dari Cyberbullying Hingga Predator Online
Muhammad Isnaini (Pengamat Pendidikan/Dekan Fakultas Saintek UIN Raden Fatah Palembang)-Foto : Ist-
BACA JUGA:Aion UT, SUV Listrik Futuristik dengan Teknologi Premium di Kelasnya
BACA JUGA:7 Model Motor Honda Terbaru 2025: Teknologi Canggih, Desain Stylish, Harga Tetap Ramah Kantong
Tantangan Pengasuhan: Kesenjangan Digital dalam Keluarga
Orang tua menjadi banteng pertama bagi anak, tapi kesenjangan literasi digital antar generasi membuat pengasuhan di era digital menjadi lebih sulit. Banyak orang tua mengaku tidak tahu cara memantau privasi akun, tidak paham istilah-istilah digital, atau justru pasif karena menganggap anak lebih paham teknologi. Namun pemahaman teknologi tidak sama dengan kemampuan menjaga diri. Kondisi ini menunjukkan bahwa literasi digital bukan hanya soal kemampuan menggunakan gawai, tetapi pemahaman menyeluruh tentang risiko, etika, dan keamanan digital.
Tanpa pendampingan yang tepat, anak yang mahir teknologi sekalipun tetap rentan terhadap paparan konten berbahaya, perundungan siber, hingga manipulasi digital. Karena itu, orang tua perlu terus meningkatkan kapasitas digitalnya—melalui pelatihan, komunitas belajar, atau panduan resmi—agar dapat menjalankan fungsi pengawasan yang adaptif dan tetap relevan dengan tantangan era online.
UNESCO (2021) mencatat rendahnya literasi digital keluarga sebagai faktor terbesar yang membuat anak rentan terhadap risiko daring. Orang tua kerap memberikan gawai tanpa aturan, atau membiarkan anak menggunakan media sosial di usia sangat dini. Mereka juga jarang berdialog tentang etika digital, keamanan, atau bahaya interaksi dengan orang asing di dunia maya.
Akibatnya, ruang digital anak menjadi area tanpa pengawasan—sunyi, tertutup, tetapi berbahaya.
Sekolah: Institusi yang Kurang Siap?
Sementara itu, sekolah sebagai institusi formal juga belum sepenuhnya siap menghadapi ancaman digital. Kurikulum literasi digital masih bersifat konseptual, belum menyentuh pencegahan cyberbullying, etika interaksi digital, dan keamanan data pribadi. Guru pun membutuhkan pelatihan khusus untuk memahami dinamika risiko daring. Pendidikan karakter yang diajarkan di kelas sering kali tidak diterjemahkan dalam perilaku siswa di media sosial.Padahal, sekolah memiliki posisi strategis sebagai ruang pembelajaran sosial.
Program digital citizenship, pendidikan kecerdasan emosional, dan literasi keamanan digital seharusnya menjadi bagian inti kurikulum, bukan sekadar materi tambahan yang diajarkan ketika ada kasus. Sering kali siswa memahami etika pada tingkat teoritis, tetapi tidak mampu menerapkannya dalam konteks media sosial, game online, atau chat group. Ketiadaan simulasi kasus, pembelajaran berbasis pengalaman, dan diskusi tentang risiko digital membuat siswa menangani tekanan sosial di dunia maya secara mandiri tanpa pedoman yang memadai.
Padahal, sekolah memiliki kekuatan untuk menumbuhkan ekosistem digital yang sehat melalui regulasi internal, pelatihan guru, dan integrasi materi digital citizenship yang kontekstual. Ketika sekolah berperan aktif sebagai banteng literasi digital, anak akan memiliki modal sosial dan moral yang lebih kuat untuk berinteraksi secara aman dan etis di dunia maya.
Arah Baru: MembangunEkosistem Digital yang Melindungi Anak
Melihat kompleksitas ancaman, menjaga anak di era digital tidak bisa hanya dilakukan oleh satu pihak. Dibutuhkan pendekatan ekosistem: keluarga, sekolah, pemerintah, industri digital, dan komunitas pengguna harus bergerak bersama.
Beberapa langkah yang dapat ditempuh:
1.Keluarga sebagai digital guardian, melalui pendampingan aktif, dialog rutin, pembatasan waktu layar, serta aturan penggunaan gawai yang jelas.
