Prof Krisna lewat penelitiannya memberikan suatu kontribusi pemikiran dalam pengembangan metode baru terapi pasien limfoma. Melalui pendekatan terapi bernasis lingkungan mikro tumor pada limfoma. Ia mengemukakan, lingkungan mikrotumor atau tumor microenvironment (TME) adalah istilah yang menggambarkan lingkungan tempat di mana tumor tumbuh dan berkembang.
Hal ini mencakup seluruh jaringan di sekitar tumor, termasuk sel-sel yang berdekatan dengan tumor, pembuluh darah, sistem imunitas dan faktor-faktor lingkungan lainnya. Lingkungan ini merupakan ekosistem yang kompleks dan dinamis, terdiri dari berbagai komponen seluler dan molekuler yang berinteraksi dengan sel limfoma. Berfungsi untuk memengaruhi pertumbuhan, kelangsungan hidup, dan resistensi mereka terhadap terapi.
BACA JUGA:Operasi Tumor Dijadwalkan 15 Februari, Untuk Pasien Muratara yang Viral
BACA JUGA:RSMH Palembang Rencanakan Operasi Tumor Pasien Viral dari Muratara, Catat Tanggalnya!
Gambaran TME pada limfoma menunjukkan adanya gangguan cross-talk antara sel limfoma dengan lingkungan sekitarnya. Sehingga menyebabkan sel linfoma lolos dari pengawasan sistem imunitas tubuh. Mekanisme immune escape yang terjadi diantaranya adalah dengan cara bersembunyi dari sistem imunitas. “Melalui hilangnya atau berkurangnya pengenalan molekul (mengubah pengenalan imun), menekan fungsi imunitas sebagai antitumor dan menciptakan lingkungan mikro yang mendukung limfoma," jelas Prof Krisna.
Tumor-infiltrating Iymphocytes (TILs) diantaranya adalah sel limfosit, terdiri dari sel B, sel T, sel natural killer (NK) mampu mengenali sel tumor. Menyebabkan respon imun TILs baik tntraepitclial, maupun peritumoral atau stromal. Dalam terapi limfoma, checkpoint inhibitors yang umum digunakan terutama berfokus pada penghambatan molekul PD-1 dan PD-L1, yang penting dalam penghindaran sistem imunoleh sel kanker.
Ahli Patologi punya peran tersendiri dalam menentukan terapi pasien dengan keganasan termasuk limfoma. Jaringan tumor yang di operasi/biopsi oleh ahli bedah dikirim ke Instalasi Patologi Anatomi lalu di proses menjadi slide yang diamati di bawah mikroskop. Dari sini diagnosis ditegakkan dan dipastikan dengan modalitas pemeriksaan molekuler. Termasuk diantaranya teknik imunohistokima yang dilakukan dengan bantuan marker berupa antibodi.
Dari hasi pemeriksaan imunohistokima dapat diketahui molekul yang terlibat dalam patogenesis suatu keganasan termasuk limfoma. Molekul ini yang kemudian dapat dijadikan target terapi. Molekul-molekul ini dapat merupakan berbagai komponen yang terlibat dalam inisiasi, perkembangan dan penyebaran sel-sel ganas. Termasuk diantaranya molekul-molekul yang terlibat dalam lingkungan mikro tumor. Sangat banyak molekul dalam lingkungan mikro tumor yang menjadi kandidat target terapi limfoma termasuk limfoma sel T.
BACA JUGA:Cara Cegah Tumor Mata Sejak Dini
"Awal mula lingkungan mikro tumor dikenal berperan penting pada perkembangan dan penyebaran sel-sel tumor ganas yang insidensinya tinggi. Seperti keganasan terutama pada subtipe molekuler yang prognosisnya buruk. seperti keganasan payudara HER2-enriched yang menunjukkan ekspresi PD-LI tinggi yang kemudian menjadi salah satu sasaran terapi target pada subtipe ini," jelas Prof Krisna.
Setelahnya ditemukan beberapa jenis limfoma yang memberi respon baik terhadap terapi target yang didasarkan lingkungan mikro tumor ini. Makrofag yang ditemukan pada lingkungan mikro tumor limfoma dikenal sebagai tumor associated macrophages. Berperan penting dalam inisiasi maupun perkembangan sel-sel tumor. "Selanjutnya macrophages-based therapy (CAR-M) yang baru memasuki fase | clinwal trials bisa menjadi peluang dalam pengobatan limfoma," terangnya.
Sel plasma juga menjadi salah satu komponen pada lingkungan mikro tumor. "Data kami menunjukkan bahwa kepadatan sel plasma pada lingkungan mikro tumor berhubungan dengan stadium limfoma Hodgkin. Publikasi lain menunjukkan hasil yang sejalan, namun plasma celi-based therapy belum terlihat kemunculannya," ulas Prof Krisna.
Menurutnya, regulasi mikrolingkungan ini secara pasti masih belum jelas dan perlu diteliti lebih lanjut. Namun, untuk lebih lalnjut Checkpoint inhibitor membuka peluang baru dalam terapi limfoma. Mengaktifkan sistem imun untuk melawan sel-sel ganas, mengatasi resistensi, dan meningkatkan efektivitas pengobatan. Peran mereka dalam meningkatkan respons imun melalui penghambatan PD-1, PD-LI, dan CTLA-4 menunjukkan hasil yang menjanjikan. Terutama dalam kombinasi dengan terapi lainnya seperti kemoterapi, CAR-T cell, dan vaksin kanker.
Meskipun begitu, tidak semua pasien merespons checkpoint inhibitor dan resistensi dapat terjadi. Strategi terapi kombinasi, pemantauan respons, serta pengembangan biomarker prediktif penting untuk mengidentifikasi pasien yang paling mungkin merespons dan menyesuaikan terapi bagi yang mengalami resistensi.
"Masih banyak komponen lain dari lingkungan mikro tumor yang bisa menjadi peluang terapi bagi pasien dengan jenis limfoma agresif. Istilah 'From bench to bedside' menunjukkan betapa pentingnya hasil penelitian yang dilakukan di laboratorium yang nantinya digunakan secara langsung untuk mengembangkan metode baru dalam terapi pasien," pungkasnya. (dik)