Masalah politik uang, akan diproses melalui Bawaslu. Sedangkan kalau tindakan pidana, ada bagiannya ditangani pihak kepolisian dan kejaksaan. “Kami imbau pilkada ini tidak menggunakan politik uang," tegas Elen.
Ketua DPC FSB Nikeuba atau Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia Palembang, Hermawan SH, berpendapat sukses dan kondusifnya penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024 ini, akan berdampak positif terhadap tumbuh kembang dunia usaha.
BACA JUGA:Kapolda Sumsel Andi Rian Atensi Penebalan Pengamanan Pilkada di Tingkat PPK, Ada ’Aroma’ Apa?
Hal yang perlu diperhatikan adalah kinerja dari penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU dan Bawaslu. “Berkaca akan masifnya money politics dan penyebaran berita hoaks pada saat Pileg lalu, untuk Pilkada ini kami minta penyelenggara pemilu harus bersikap profesional dengan proaktif dalam menindaklanjuti setiap laporan yang masuk," pintanya.
Dosen Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab & Humaniora UIN Raden Fatah Palembang, Otoman SS MHum, mengutip pernyataan Cornel West. Bahwa di era materialisme, konsep demokrasi itu sendiri berada dalam risiko. Ketika uang berbicara lebih keras dari pada suara rakyat, keterlibatan demokratis yang sejati menderita.
Ketika individu merasa bahwa suara mereka tidak berarti di hadapan kekuatan finansial, apatis dan ketidakpedulian terhadap politik pun meningkat. Akibatnya, partisipasi dalam pemilihan umum dan kegiatan politik lainnya menurun. Sehingga mengikis fondasi demokrasi itu sendiri.
Demokrasi di Indonesia, meski telah berlangsung lebih dari dua dekade, masih dihadapkan pada berbagai tantangan. Salah satunya adalah praktik politik uang. Fenomena ini tidak hanya mencederai nilai-nilai demokrasi, tapi juga mengakibatkan munculnya masyarakat yang semakin materialistis.
Salah satu penyebab utama praktik politik uang, adalah kultur politik yang sudah mengakar dalam masyarakat. Banyak orang di Indonesia menganggap bahwa imbalan material adalah hal yang wajar dalam politik.
Ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah dan kondisi sosial-ekonomi juga berkontribusi pada munculnya praktik politik uang. Dengan tingkat kemiskinan yang masih tinggi, terutama di daerah-daerah tertentu, masyarakat merasa bahwa mereka perlu memanfaatkan peluang yang ada untuk mendapatkan imbalan.
Dalam kondisi ini, pemilih lebih cenderung memilih calon yang menawarkan imbalan, karena mereka beranggapan bahwa hal itu adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan keuntungan. “Keterbatasan akses terhadap informasi yang berkualitas juga menjadi factor penyebab,” katanya.
Banyak masyarakat, terutama di daerah terpencil, tidak memiliki akses yang memadai untuk mendapatkan informasi tentang calon pemimpin dan program-program mereka. “Ketidakpahaman ini membuat mereka lebih rentan terhadap tawaran imbalan,” ulasnya.
Penegakan hukum yang lemah terhadap praktik politik uang, juga berkontribusi pada meluasnya fenomena ini. Meskipun ada undang-undang yang mengatur larangan politik uang, dalam praktiknya banyak pelanggaran yang tidak ditindaklanjuti.
Menurut laporan Bawaslu, hanya sekitar 15 persen dari kasus dugaan politik uang yang berhasil diproses secara hukum (Bawaslu, 2022). Hal ini menciptakan impunitas bagi para pelanggar dan semakin memperkuat budaya materialistis.
Praktik politik uang yang terus berlangsung berdampak signifikan terhadap kualitas demokrasi. Pertama, pemilih yang tergoda oleh imbalan materi cenderung mengabaikan kualitas dan integritas calon pemimpin. Hal ini berpotensi menghasilkan pemimpin yang tidak kompeten, sehingga dapat memperburuk kondisisosial, ekonomi, dan politik di negara ini.