Kedua, adanya praktik politik uang menciptakan ketidakadilan dalam proses pemilihan. Calon-calon yang memiliki sumber daya lebih besar mendapatkan keuntungan tidak adil, sehingga mengurangi peluang bagi calon yang lebih baik tetapi tidak memiliki kekuatan finansial.
Ketiga, budaya materialisme ini dapat menimbulkan apatisme di kalangan pemilih yang merasa bahwa suara mereka tidak berarti jika harus ditebus dengan uang. Hal ini dapat mengakibatkan partisipasi politik yang rendah, yang pada akhirnya melemahkan legitimasi sistem demokrasi itu sendiri.
Salah satu langkah penting untuk mengatasi praktik politik uang adalah melalui pendidikan politik. Masyarakat perlu diajarkan tentang pentingnya partisipasi politik yang berdasarkan pada pengetahuan dan visi calon pemimpin.
Program-program literasi politik yang menyasar generasi muda harus digalakkan di sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lainnya. Menurut sebuah penelitian oleh United Nations Development Programme (UNDP), pendidikan politik dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dan mendorong partisipasi aktif dalam proses demokrasi.
Pemerintah dan lembaga terkait harus memperkuat regulasi mengenai politik uang. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran harus dilakukan untuk memberikan efek jera. Kampanye anti-politik uang yang masif juga perlu digalakkan, melibatkan masyarakat dan berbagai elemen, termasuk media.
Sebagai contoh, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa berkolaborasi dengan Bawaslu untuk meningkatkan pengawasan dalam proses pemilu. “Praktik politik uang yang berkembang dalam kultur politik kita adalah tantangan serius yang memerlukan perhatian dan tindakan serius dari semua pihak,” pungkasnya.