Suhu Panas Ekstrem Sengat Sumsel, Lebih dari 36 Derajat Celcius

Minggu 27 Oct 2024 - 20:04 WIB
Reporter : Agustina
Editor : Edi Sumeks

PALEMBANG, SUMATERAEKSPRES.ID - Suhu panas terik matahari yang dirasakan masyarakat Kota Palembang dan Sumatera Selatan (Sumsel) pada umumnya beberapa hari terakhir terjadi karena fenomena suhu panas ekstrem. Kepala Stasiun Meteorologi SMB II, Siswanto, mengatakan, pantauan beberapa parameter dinamika atmosfer terkini, hingga 29 Oktober mendatang, secara umum sebagian besar wilayah Sumsel akan terik khususnya pada pagi hingga menjelang siang hari.

Diketahui suhu maksimum, pada Jumat (26/10) tercatat mencapai 35,4 celcius dan suhu yang sama juga terjadi pada Sabtu (27/10). "Namun beberapa wilayah Sumsel bagian barat dan sebagian kecil Kabupaten OKI masih dimungkinkan potensi pertumbuhan awan hujan," terangnya, Minggu (27/10). Sebab, pada akhir Oktober hingga awal November 2024 sudah mulai ada pertumbuhan awan hujan yang merata di Sumsel. 

Jika ada perubahan cuaca signifikan, jelas Siswanto, pihaknya segera melakukan update kembali atau bisa dipantau melalui beberapa kanal resmi BMKG seperti web, aplikasi PlayStore, maupun pada medsos infocuacaSumsel. "Penyebab cuaca terasa terik karena pertumbuhan awan sangat minim sehingga sinar matahari yang diterima diperlukan bumi tidak terhalang awan dan secara penuh sampai di bumi," jelasnya.

Siswanto menyebut, suhu udara di Sumsel sempat mencapai 36 derajat celcius lebih, namun masih di bawah 37 derajat celcius. "Kondisi cuaca berupa suhu yang tercatat di atas 35 derajat, secara meteorologi sudah masuk kategori suhu ekstrem," bebernya. 

BACA JUGA:Suhu Panas Sentuh 35 Derajat Celcius, Pakai Topi, Payung, hingga Tabir Surya

BACA JUGA:Musim Haji di Makkah: 1.301 Jemaah Wafat Akibat Suhu Panas Ekstrem

Sejumlah warga Metropolis mengakui panasnya cuaca beberapa waktu terakhir ini. "Kalau kulit kena langsung matahari di siang hari, rasanya terpanggang. Panasnya bukan main," ucap Rangga, salah seorang karyawan restoran. 

Salah satu pemicu suhu ekstrem karena pemanasan global akibat produksi emisi gas rumah kaca (GRK) yang semakin besar, baik itu karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dinitrogen oksida, klorofluorokarbon. Jumlahnya bahkan meningkat 4 kali lipat selama 2 dekade terakhir. Data BPS yang di-update per 28 Juli 2022, berdasarkan laporan inventarisasi GRK dan MPV 2020, KLHK RI pada 2019, produksi GRK mencapai 1,86 miliar ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Jauh dibanding tahun 2000 yang hanya 1,18 miliar ton, 2001 sebesar 461,4 juta ton, dan 2002 sebesar 742,3 juta ton.

Emisi CO2 (karbon) salah satu pendorong emisi GRK terbesar, terutama dari penggunaan BBM (energi fosil) oleh kendaraan bermotor maupun pembangkit listrik (PLTU batubara, PLTD). Berdasarkan data Global Carbon Project (2017), produksi emisi karbon mencapai 487 juta ton (MtCO2). Pada tahun 1980, suhu bumi masih di bawah 0,25 derajat celcius, kini di range 0,74 ± 0,8 derajat celcius. 

Laporan World Meteorological Organization memperkirakan antara tahun 2023-2027, suhu global bertambah hingga mencapai ambang kritis 1,5 derajat celcius. Dampak perubahan iklim ini, risikonya gelombang panas yang ekstrem, permukaan laut terus naik, hingga kepunahan satwa liar. Di musim kemarau, suhu panas di Indonesia telah mencapai 25-34 derajat celcius menyebabkan kekeringan semakin panjang dan tanaman sulit bertahan hidup. Sementara musim hujan, potensi hujan lebat, badai hebat, puting beliung, longsor, naiknya air laut memicu banjir bandang, hingga menimbulkan penyakit. 

Kategori :