SUMATERAEKSPRES.ID - Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mencapai kesepakatan untuk memfinalisasi pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait perubahan atas Undang-Undang No.39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Revisi ini menargetkan dua ketentuan utama, yaitu modifikasi Pasal 15 yang menghapus ketentuan jumlah kementerian yang sebelumnya ditetapkan sebanyak 34, dan disesuaikan dengan kebutuhan aktual penyelenggaraan pemerintahan oleh Presiden.
Penjelasan Pasal 10 yang membatasi posisi wakil menteri hanya untuk pejabat karier, juga dihapus.
Hal ini memberikan fleksibilitas lebih kepada Presiden terpilih untuk menambah jumlah kementerian setelah dilantik pada Oktober mendatang.
BACA JUGA:PROJO Lahat Apresiasi Pembangunan Jokowi, Berharap Kemajuan di Era Prabowo
Menurut isu yang beredar, jumlah kementerian dan lembaga di era pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka diprediksi akan bertambah menjadi 44, atau bertambah 10 dari era Joko Widodo–Ma'ruf Amin.
Kabar ini memicu berbagai spekulasi publik, termasuk dugaan bahwa penambahan jumlah kementerian bertujuan untuk memperluas pembagian jabatan di kalangan koalisi pendukung.
Dalam diskusi terbaru di SuarAkademia, Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, dosen dari Universitas Gadjah Mada, memberikan pandangannya.
Menurut Alfath, meski dugaan bahwa keputusan ini untuk mengakomodasi anggota koalisi adalah hal yang normal, masyarakat memiliki alasan kuat untuk meragukan langkah ini, terutama karena revisi UU kementerian terkesan terburu-buru.
BACA JUGA:Jokowi & Prabowo Angkat Bicara Soal Isu Retaknya Hubungan: Apa Kata Masyarakat?
BACA JUGA:Viral! Cak Imin Ungkit Posisi Menhan yang Diambil Prabowo
Perubahan peta politik juga menambah spekulasi, terutama karena partai oposisi tampak semakin mendekat ke koalisi pemerintahan baru.
Alfath memperingatkan bahwa penambahan kementerian dapat memperlebar potensi kekuasaan yang tidak terkendali, tumpang tindih kebijakan
Pembengkakan anggaran, serta meningkatkan risiko praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Menurutnya, langkah ini dapat menghambat reformasi birokrasi yang selama ini menjadi salah satu agenda penting pemerintah.