Dalam melakukan pertapaan tersebut sampai ke tingkat “fana” sehingga yang dirasakan hanyalah kedekatan mereka dengan sang pencipta. Di antara doa tersebut adalah untuk dapat menangkal “guna-guna”. Dari gangguan makhluk-makhluk yang ada di wilayah tersebut.
Paragraf kedua diberitakan bahwa sebelum kedatangan sepuluh Maharesi, banyak pendeta-pendeta dari wilayah tersebut pergi ke segala penjuru.
Kepergiannya tanpa disertai para wanita-wanita serta atribut- atribut sebagai seorang pendeta. Pada saat dan kondisi tersebut datanglah sepuluh Maharesi dalam kondisi semuanya berpuasa.
Diceritakan juga bahwa kawasan yang didatangi Maharesi tersebut dalam kawasan hutan rimba yang penghuninya diantaranya juga binatang buas.
Binatang buas tersebut diyakini sering memangsa manusia. Isi teks dalam naskah yang kedua berisi diantaranya adalah tentang ajaran untuk bertapa atau bersemedi.
Ajaran ini biasa berlaku pada keyakinan dalam agama Budha. Disebutkan juga tentang adanya Maharesi dan pendeta yang biasa membaca mantra-mantra.
Mantra-mantra juga merupakan ajaran dalam agama Budha. Ajaran tentang bagaimana mencari ketenangan dalam jiwa dan langkah untuk menghapus kesalahan-kesalahan manusia.
BACA JUGA:Waisak: Merayakan 3 Peristiwa Besar Sang Buddha Gautama, Refleksi dan Penghormatan atas Ajaran-Nya
BACA JUGA:Perekat Toleransi Umat Beragama, Perayaan Waisak
Sebuah ajaran yang diharapkan dapat menjadi suri tauladan bahwa siapa saja yang melakukan kesalahan, meskipun mereka dari kalangan terhormat (resi, pendeta) maka akan jatuh kehormatanya. Untuk itu melakukan tapa (bertapa) salah satu ajaran yang diajarkan dalam sistem keyakinan agama Budha.
Jejak adanya ajaran dalam teks naskah Gelumpai di Bumi Sriwijaya tersebut tentunya relevan dengan momen untuk refleksi, dan penghormatan kepada ajaran Siddharta Gautama, sang Buddha bagi pemeluknya.(*)