SUMATERAEKSPRES.ID - Perayaan Hari Raya Waisak yang jatuh pada Kamis, 23 Mei 2024 merupakan hari raya agama Buddha, yang juga dikenal sebagai Trisuci Waisak.Hari Raya Waisak bukan hanya sebuah perayaan, tetapi juga sebuah momen refleksi, dan penghormatan kepada ajaran Siddharta Gautama, sang Buddha.
Salah satu jejak keberadaan agama Budha di Bumi Sriwijaya (Sumatera Selatan) adalah Naskah kuno (Naskah Gelumpai) dengan aksara Ka-Ga-Nga.
BACA JUGA:Bantu Penuhi Stok Darah PMI Yayasan Budha Tzu Chi Gelar Baksos Donor Darah
BACA JUGA:Dharmasanti Waisak, Tampilkan Gelaran Seni
Seperti diketahui, manuskrip memuat banyak hal tentang persoalan kehidupan manusia dan keterkaitannya dengan Tuhan dan alam semesta.
Masyarakat Uluan telah memiliki tradisi tulis sejak lama dan telah berkembang aksara yang dikenal sebagai aksara Ka-Ga-Nga, sehingga tradisi tulis tersebut termanifestasi dalam karya berupa naskah-naskah kuno dengan aksara Ka-Ga-Nga.
Naskah-naskah Kuno sebagai produk budaya masyarakat Uluan ini kebanyakan menggunakan bahan bamboo dan kulit kayu (kakhas) sebagi media tulisnya.
Bahan-bahan lain juga dipergunakan seperti rotan, lontar, kulit hewan, lempengan tembaga dan tanduk. Aksara Ulu atau kaganga menjadi kekayaan budaya masyarakat tepian sungai di Sumatera bagian Selatan.
Diperkirakan, aksara itu tumbuh sejak abad ke-12 Masehi dan berkembang pesat pada abad ke-17-19 Masehi.
Tulisan itu banyak digunakan untuk menyampaikan ajaran agama, ilmu kedokteran, petuah, dan kearifan lokal lain. Keberadaan aksara ulu tersebut menunjukkan, budaya tepian sungai memiliki tradisi intelektualisme cukup tinggi.
Disebut aksara ulu karena banyak berkembang dalam masyarakat yang tinggal di hulu sungai di pedalaman.
Analisis Teks Naskah Gelumpai
Di dalam isi teks naskah Gelumpai dijumpai beberapa istilah-itilah, diantaranya adalah: Maharesi, Pendeta, Ganesha, kutukan, Bersemedi, Guna-guna, Prasasti Tempat ritual.
Paragraf pertama naskah Gelumpai di atas apabila dilihat dari isi teks diantaranya memuat tentang adanya tokoh agama yang disebutnya sebagai “Maharesi” yang datang ke wilayah tersebut.
Sepuluh orang Maharesi tersebut datang dari tempat yang terpisah. Di sana mereka melakukan pertapaan untuk berdoa mengharap doa mereka dikabulkan.