SUMATERAEKSPRES.ID - Desa Sakatiga biasa disebut masyarakat lokal dengan Saketige. Namun, orang Palembang dan sekitarnya menyebut Sakotigo. Merupakan bagian penting dari perkembangan sejarah Kesultanan Palembang. Letaknya berada di Kecamatan Indralaya, Ogan Ilir.
SEJARAH Desa Sakatiga erat kaitannya dengan kisah keberadaan Pangeran Sido Ing Rejek, yaitu raja terakhir di masa kerajaan Palembang. Sejarawan dan Budayawan Sumatera Selatan, Vebri Al Lintani bersama Hidayatul Fikri menyebut keistimewaan Desa Sakatiga bukan hanya sebatas kampung tua yang sudah ada sejak masa kesultanan.
BACA JUGA:Kuntau Samaniyyah: Seni Silat Khas Kesultanan Palembang Darussalam
BACA JUGA:Bukit Siguntang: Petilasan Kerajaan Sriwijaya yang Mengikat Sumpah Kesultanan Palembang Darussalam
Tapi yang luar biasanya memiliki catatan sejarah berdirinya Kesultanan Palembang. "Catatan sejarah ini masih dikenang dengan adanya makam dari raja terakhir Kerajaan Palembang yang menyingkir ke Sakotigo yaitu makam Pangeran Sido Ing Rejek," terang Hidayatul.
Pangeran Sido Ing Rejek atau dalam gelar yang sering dipanggil adalah Pangeran Jamaluddin Amangkurat VI. Sedangkan nama kecilnya dipanggil dengan sebutan Abdulrahim. Sido Ing Rejek ini merupakan raja terakhir dari Kesultanan Palembang. Ketika itu dia berada di Istana Kuto Gawang.
"Pada waktu itu karena konflik dengan Belanda yang dipimpin oleh Van der Loon dan ada salah satu kapal Belanda dibakar oleh orang Palembang," ungkap Vebri.
Lalu, Belanda membalas dan menyerang Palembang. Kemudian, istana Kuto Gawang dibumihanguskan oleh Belanda. Termasuk juga kampung Arab dan kampung Cina di seberang dari istana Kuto Gawang dibumihanguskan Belanda.
Karena konflik serangan Belanda tersebut, Sido Ing Rejek menyingkir ke Desa Sakatiga. Pangeran Sido Ing Rajek adalah raja Palembang terakhir yang harus mundur karena kalah dalam perang melawan Belanda (1659).
"Semenjak Pangeran Sido Ing Rejek menduduki Desa Sakatiga, di sini jadi kubu ketiga. Sedangkan di Palembang dikendalikan oleh adiknya Kiemas Sindi yang mengendalikan 2 kubu pertahanan. Yakni di wilayah Sako Kenten dan Sabokingking," ulasnya.
Menurutnya, pada waktu itu, kerajaan Mataram mengaku sebagai pazal atau induk dari bagian kerajaan Palembang. Tetapi Mataram dianggap tidak peduli dengan kondisi yang terjadi di Palembang.
Banyak persoalan yang dialami, diselesaikan sendiri oleh Palembang. Misalnya konflik dengan Kerajaan Jambi, Banten dan lain sebagainya.
"Tetapi Kiemas Sindi berusaha kembali ke Mataram dan menghaturkan sembah, itu pun tidak dipedulikan oleh Raja Mataram pada waktu itu," tukasnya.
Karena perlakuan tersebut, Kiemas Sindi bertekad untuk berdaulat sendiri atau bebas dari pazal Jawa atau Mataram. Oleh karena itu pada 3 Maret 1666, Kiemas Sindi berhasil memulihkan Palembang serta segera membentuk Kesultanan Palembang Darussalam. Kiemas Sindi juga bergelar Sultan Abdulrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Imam.
Pada tahun 1659, dia menggantikan kakaknya menjadi raja. Kemudian pada tahun 1666, memproklamirkan Kerajaan Palembang menjadi Kesultanan Palembang Darussalam.