Di kala itu Warok Suro menggolo kembali pulih setelah luka melakukan perang.
Bathoro Katong, kemudian memperkenalkan Dawet Jabung kepada kakanya Raden Fatah di Kesultanan Demak.
Seketika Raden Fatah pun suka dengan minuman Dawet dan ingin menjadikan sebagai minuman keseharian di keraton Kesultanan Demak.
Agar lebih indah dawet jabung yang bening diberi warna hijau, yang merupakan warna favorit Rasulullah SAW.
Dawet yang berwarna hijau ini menyebar ke barbagai kota di Jawa Tengah.
Ketika Kesultanan Demak melakukan penyerangan Portugis di Melaka, Pasukan Demak disediakan minuman Dawet Hijau supaya memiliki semangat perang yang tinggi, sehingga Dawet pun dikenal juga oleh orang melayu yang tinggal di Malaysia, Singapura, Riau dan Thailand Selatan.
Di daerah Ponorogo terdapat Kampung Dawet di sekitaran Jetis yang dijual dari warung-warung hingga restoran dengan menyajikan secara khas, yakni memberikan mangkok dawet diatas lepek kecil, bukan nampan.
Minuman dawet sudah terlebih dahulu dikonsumsi orang Jawa kuno seperti yang tercatat dalam prasasti dan naskah kuno.
Sedangkan cendol merupakan adopsi dari dawet, inovasi yang ditemukan oleh orang-orang Jawa, di sekitar abad 19 hingga awal abad 20.
Perbedaan adalah pada bahan dasar es cendol dulunya terbuat dari sagu aren, tepung beras, dan tepung hunkwe.
Umumnya dibuat hunkwe dan tepung beras saja. Tepung tersebut kemudian diberi pewarna makanan hijau atau perasan daun suji. Ada juga yang memakai pandan.
Setelah semua berwarna hijau, adonan tepung hunkwe akan dicetak menggunakan alat khusus.
Umumnya, berbentuk gelas panjang dengan lubang di bawahnya.
Dari sana, bentuk khas lonjong dari cendol berasal.
Sedangkan bahan dasar es dawet dulunya terbuat dari tepung beras ataupun tepung beras ketan, diberi pewarna hijau berupa daun suji.
Proses membuatnya lebih simpel dibanding cendol. Dengan cara adonan dawet dicetak menggunakan alat berupa saringan sederhana.