Mengelola Humor, Etika, Dan Empati Dalam Kehidupan Publik, Belajar Dari Insiden Gus Miftah
Muhammad Isnaini (Dosen Pengembangan Media dan Teknologi Pendidikan UIN Raden Fatah Palembang)-foto: ist-
Empati adalah elemen penting lainnya dalam kehidupan publik. Kemampuan untuk mendengar dan merespons kritik atau tanggapan negatif dengan bijak menunjukkan kedewasaan dalam berkomunikasi. Empati membantu membangun koneksi emosional yang kuat, sehingga komunikasi terasa lebih manusiawi dan relevan. Penggunaan bahasa yang menghargai serta nada yang tidak menyinggung atau defensif sangat penting dalam menyampaikan pesan, terutama ketika berhadapan dengan audiens yang beragam.
Ketika humor, etika, dan empati dikelola dengan baik, komunikasi publik tidak hanya menjadi alat untuk menyampaikan informasi tetapi juga menjadi sarana untuk mempererat hubungan sosial dan menciptakan harmoni di tengah keberagaman. Hal ini memberikan kontribusi positif bagi kehidupan bermasyarakat yang lebih inklusif dan saling menghormati.
Pelajaran berharga dari insiden Gus Miftah dengan menyoroti pentingnya mengelola humor secara bijak, mempertimbangkan etika komunikasi, dan menumbuhkan empati dalam kehidupan publik. Melalui pembahasan ini, kita diharapkan dapat memahami bagaimana ketiga elemen tersebut dapat digunakan untuk membangun hubungan yang lebih harmonis dan inklusif di tengah keberagaman masyarakat.
BACA JUGA:Debat Publik Kedua Pemilukada OKI: Panelis Baru dan Penambahan Kuota Undangan
BACA JUGA:KPU Tegaskan Debat Publik Pilkada Muba Sesuai Aturan, Lucianty Tetap Lanjutkan Debat
1. Mengelola Humor Secara Bijak
Humor adalah seni yang memerlukan kepekaan dan kesadaran terhadap konteks. Dalam insiden Gus Miftah, muncul perdebatan tentang batasan humor, terutama ketika menyentuh hal-hal yang sensitif seperti agama, budaya, atau isu personal. Humor yang baik adalah humor yang tidak hanya menghibur tetapi juga membangun, tanpa merendahkan atau menyinggung kelompok tertentu.
Mengelola humor secara bijak berarti memahami audiens dan konteksnya. Dalam masyarakat yang plural seperti Indonesia, sensitivitas terhadap keragaman sangat penting. Figur publik seperti Gus Miftah memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa humor yang disampaikan tidak menciptakan polarisasi, melainkan menjadi alat untuk mempererat hubungan sosial.Beberapa prinsip yang dapat diambil, pertama, Kontekstual. Humor harus relevan dengan situasi tanpa melupakan norma sosial yang berlaku. Kedua, Inklusif. Hindari humor yang mengeksploitasi stereotip atau merendahkan kelompok tertentu. Ketiga, Reflektif. Sebelum menyampaikan lelucon, pertimbangkan potensi dampaknya pada audiens.
2. Mempertimbangkan Etika dalam Komunikasi
Etika komunikasi adalah landasan dalam interaksi sosial, terutama di ruang publik. Insiden ini menunjukkan pentingnya figur publik menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab moral. Dalam konteks humor, etika komunikasi berfungsi sebagai pagar untuk mencegah dampak negatif, seperti menyakiti perasaan orang lain atau memicu konflik.Beberapa aspek etika yang perlu diperhatikan. Pertama, Keseimbangan Kebebasan dan Tanggung Jawab. Kebebasan berekspresi tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan dampak sosial dari apa yang diucapkan. Kedua, Kesadaran Sosial. Memahami sensitivitas isu tertentu, terutama yang berkaitan dengan agama, budaya, atau nilai-nilai lokal. Dan Ketiga, Transparansi dan Keberanian Meminta Maaf. Jika sebuah humor ternyata menyinggung, langkah meminta maaf secara tulus menunjukkan integritas dan tanggung jawab seorang figur publik.
BACA JUGA:Toha-Rohman Walk Out dari Debat Publik Cabup Cawabup Muba
BACA JUGA:Anggota DPRD OKI Serap Aspirasi di Dapil IV, Fokus Perbaikan Infrastruktur dan Layanan Publik
3. Menumbuhkan Empati dalam Kehidupan Publik
Empati adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan perasaan orang lain, yang menjadi kunci dalam menjaga harmoni sosial. Dalam kasus ini, Gus Miftah dapat diambil sebagai contoh untuk mendorong pentingnya berempati, tidak hanya kepada audiens tetapi juga kepada berbagai kelompok masyarakat yang mungkin memiliki sudut pandang berbeda.Menumbuhkan empati dalam kehidupan public, Paertama, Mendengar dan Memahami Perspektif Orang Lain. Sebagai figur publik, penting untuk mendengar suara masyarakat dan memahami dampak perkataan terhadap mereka. Kedua, Menghindari Polarisasi. Humor atau komunikasi yang bijak harus bertujuan untuk mendekatkan, bukan memecah belah. Ketiga, Membangun Ruang Dialog. Alih-alih menjadi defensif, sebuah insiden dapat menjadi peluang untuk membuka diskusi yang sehat tentang batasan humor, etika, dan empati.
Ketiga elemen di atas saling melengkapi dalam menciptakan ruang publik yang inklusif, harmonis, dan produktif. Humor membuat komunikasi lebih ringan, etika memberikan batasan yang sehat, dan empati memastikan bahwa semua pihak merasa dihargai. Dengan mengelola ketiganya secara bijak, kita dapat membangun kehidupan publik yang lebih beradab dan mempererat hubungan antarindividu maupun antar kelompok di tengah keberagaman.