https://sumateraekspres.bacakoran.co/

“Redupnya” TV Publik Kami

Sukirman -Pernah Training Jurnalisitik Televisi di Berlin Jerman 2001, Jurnalistik Lingkungan di Bangkok 2002, International Broadacsting Leadership Program, di Seol Korea Selatan 2019 dan Reuters’ Training on TV news Production (2000)-

BACA JUGA:PPBKD Siap Menangkan HDCU

BACA JUGA:Ramaikan Lari Santai Road to Smartfren Run 2024

Setelah memahami siapa diri kita (baca tvri Sumsel), maka tugas yang paling utama adalah bagaimana tvri sumsel tetap diingat oleh masyarakat sumsel  dan tidak tenggelam oleh zaman. Seiring dengan pemanfaatan satellite untuk mengatasi blank-spot dan agar kanal tvri sumsel bisa ditonton oleh pengguna parabola, maka dihadirkanlah  acara KAMPUNG-KU. Acara yang digarap dengan format berita ini menghadirkan berita-berita soft news atau human interest yang tujuannya tak lain untuk memberikan “panggung” bagi 3.000 lebih desa di Sumsel. Bukankah setiap desa dan kelurahan punya keunikan sendiri seperti keindahan alam, adat istiadat, potensi pertanian, kreativitas masyarakat desa, ragam usaha mikro, kecil dan menengah yang jika diekspose akan member warna tersendiri. Sederhananya minimal penduduk desa bangga karena desa mereka diperhatikan oleh media (tvri sumsel). Strategi program ini, diyakini dapat memperlambat tenggelamnya “kapal” TVRI (sumsel). 

Berbekal pengalaman dan ilmu pengetahuan,  saya merasa beruntung karena sering mengikuti training tentang pertelevisian yang berkelas internasional. Bahkan awal karier saya sebagai insane tvri dimulai dari asisten JICA Expert di bidang Program. Dua tahun lebih saya menjadi asisten Mr. Niwa dari NHK dimana Mr. Niwa sebagai expert untuk tvri yang berkantor di Senayan Jakarta.

“Tirakat” yang dilandasiilmu, pengetahuan dan pengalaman itu membidani lahirnya “Trilogi Program”. Ketiga program itu adalah Rentak Ulu Melayu (RUM), Dendang Keliling dan Dakwah Keliling. Salah satu kelebihan dari ketiga acara ini adalah ketiga-ketiganya melibatkan massa yang cukup banyak. RUM melibatkan para siswa sekolah, mahasiswa dan komunitas yang berlomba menampilkan kreativitas seni-budaya “kemelayu-an” masyarakat Sumsel. Tak salah juga jika RUM sebagai upaya meningkatkan martabat masyarakat melayu dimana Sumsel bagian dari itu. 

Pelibatan masyarakat dalam tv public dikenal dengan sebutan “people value” dan inilah nilai yang seharusnya jadi nilai tambah bagi  tv publik. Acara-acara itu juga sebagai wujud dari “Voice for the Voiceless”. Sedikit membingungkan jika insane tvri selalu menggaungkan people value dan voice for the voiceless. Tetapi tak mampu mewujudkannya  di layar kaca. Ide yang besar tentu akan tidak bermanfaat jika tak diwujudkan di layer kaca. Lebih baik memproduksi acara yang melibatkan massa daripada berkampanye “Tontonlah TVRI..!!”. Pola pengiklanan seperti ini tak cocok untuk tvri saat ini.

Trilogi yang kedua adalah Dendang Keliling. Acara ini dikemas sebagai acara rakyat untuk memenuhi dahaga masyarakat termasuk masyarakat “marginal” akan hiburan. Program ini diracik sejak kami “menakhodai” TVRI Kalimantan Selatan. Dendang Keliling-nya TVRI Sumsel merupakan “copy-paste” dari program Dangdut Keliling-nya di TVRI Kalimantan Selatan. 

Acara ini  “mengawinkan” pemahaman tentang acara hiburan untuk televise dengan keilmuan di bidang ilmu sosial. Menjadi insane tvri apalagi menjadi nakhoda dari sebuah stasiun memang harus kaya ilmu, pengetahuan dan pengalaman, plus memahamiapa arti sebuah lembaga penyiaran yang menyandang nama publik. Jauh sebelum saya menjadi reporter tvri dan bekerja di tvri saya memang penulis artikel (opini) di media massa yang hingga saat ini sedikitnya 50 artikel sudah terpublikasi.     

Ini sengaja dihadirkan sebagai thesis bahwa bekerja di ranah media, butuh wawasan dan kecerdasan membaca fenomena sosial. Kecerdasan membaca fenomena sosial tak sekadar asal kerja apalagi asal beda tetapi tak ada nilai yang diusung dalam acara itu. Dendang Keliling menyedot perhatian massa yang cukup besar merupakan nilai plus bagi tvri. Pertama menyuguhkan hiburan pada masyarakat dan yang kedua merengkuh nilai-nilai kepublikan, apalagi yang disasar adalah kelompok masyarakat menengah- ke bawah. 

Dalam wejangannya kepada kami para broadcaster dari negara-negara Asean Mei 2019 lalu di Seoul Korea Selatan, Production Director SBS, IlJoong Kim mengemukakan filosofinya dalam memproduksi musik, “never underestimate the power of stupid people in large groups”. Meskipun saya sudah melakukannya terlebih dahulu karena pengaruh “baca”-an, ketika masih di Kalimantan Selatan, filosofiI l Joong Kim semakin menguat ketika di Sumsel dengan membidani program  Dendang Keliling, Dakwah Keliling, Rentak Ulu Melayu dan Kampungku.   

Tak kalah penting adalah Trilogi ketiga yaitu Dakwah Keliling. Dari sisi “people value” mirip dengan RUM dan Dendang Keliling. Tapi ada yang lebih penting di sini, ini adalah anti thesis kami terhadap acara yang existing sebelumnya. Acara ini cenderung monoton, Pengisi acaranya dan audience-nya (jikaada) yang dihadirkkan-pun relative tak berubah. Sehingga ada kesan produser acara ini cenderung auto-pilot. 

Sebagai oleh-oleh saya ketika mengikuti training selama dua minggu di Seoul Korea Selatan, Mei 2019 lalu (beberapa bulan sebelum bertugas di sumsel),”mbah”-nya drama korea  Chief Producer Studio Dragon, JungDo Jang mengemukakan “unlike other contents, what kind of differentiataion should a drama has”. Lebih lanjut Jung Do Jang mengemukan langkah memproduksi suatu drama adalah “make the tren of differentiation that the only Korea has”. 

Saya racik kata-kata Jung Do Jang dengan meluncurkan Dakwah Keliling. Apanya yang beda… ? Minimal Audience yang selalu berbeda dan berubah tidak monoton, lokasi yang berbeda akan memberikan “magnet” tersendiri dan salah satu yang paling penting adalah Nara Sumber atau penceramahnya juga harus berganti tidak focus pada orang tertentu.

Perbedaan ini sederhana tetapi sangat penting bagi tv konvensional yang memikul beban publik. Dengan “keliling”, maka kyai atau sebut saja pendakwahnya tidak monoton, bukan seperti istilah Betawi “lho…lagi, lho….lagi”. Terjaringlah penonton baru karena memang semua baru termasuk lokasinya yang berbeda dengan sebelumnya. Tentu kita juga menghadirkan acara dakwah yang serius yaitu Belajar Tauhid. 

Dalam bidang agama ini sedikitnya juga ada tiga pilar. Ibarat membangun rumah, saya mengimpikan pondasinya yang kokoh (Belajar Tuahid), dinding dan atap yang melindungi (Dakwah Keliling) serta keindahan interior yang menyejukkan hati (KisahTeladan). Ini juga sebuah Trilogi baru di bidang acara yang berlebel Agama Islam. Setidaknya tvri (sumsel) hadir dalam membina ummat dalam perspektif agama.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan