https://sumateraekspres.bacakoran.co/

“Redupnya” TV Publik Kami

Sukirman -Pernah Training Jurnalisitik Televisi di Berlin Jerman 2001, Jurnalistik Lingkungan di Bangkok 2002, International Broadacsting Leadership Program, di Seol Korea Selatan 2019 dan Reuters’ Training on TV news Production (2000)-

Oleh : Sukirman

Pernah Training Jurnalisitik Televisi di Berlin Jerman 2001, Jurnalistik Lingkungan di Bangkok 2002, International Broadacsting  Leadership Program, di Seol Korea Selatan 2019 dan Reuters’ Training on TV news Production (2000)

=============================

SUMATERAEKSPRES.ID - Tulisan ini dipublikasikan ditengah meredupnya minat khalayak menonton televisi, termasuk di dalamnya tvri baik nasional maupun lokal. Tak terelakkan disrupsi digital, secara teknologi memungkin orang menikmati platform lain sebagai produk turunan dari digitalisasi, sebut saja misalnya You tube diringi platform media sosial lain. Dari sisi  content,  media multi platform ini lebih menarik dibandingkan media televise konvensional. 

Media televise konvensional tak mampu mengimbangi kebutuhan manusia akan aneka ragam informasi. Siaran langsung tv konvensional-pun  tetap kalah cepat dengan  platform media sosial lainnya. Selain sederhana, super cepat, ringkas, dan tetap informatif,  “tokoh” atau nara sumbernya-pun beragam,  mulai dari strata sosial yang paling rendah hingga strata sosial menengah-atas. Para “content creator” memiliki kepuasan tersendiri jika informasi yang mereka produksi diterima pasar apalagi viral.

BACA JUGA: Pj Gubernur Sumsel dan Pangdam Langsung Bahas Karhutla, Silaturahmi Hari Pertama Bertugas

BACA JUGA:Didukung 3 Parpol, Usung Muratara Maju

Kajian dan analisis menurunnya minat masyarakat untuk menonton tv ini sudah banyak dipublikasikan, oleh sebab itu saya tak tertarik untuk mengulasnya lebih jauh. Untuk tidak menghilangkan kadar ilmiah dari tulisan ini,  penulis mengutip pendapat Michael Strange love dalam bukunya yang berjudul Post-tv, Piracy, Cord-Cutting, and the Future of Televison (2015). Dosen University of Ottawa ini mengatakan, “in the late 2000s, television no longer referred to an object to be watched, it had transformed into content to streamed, downloaded, and shared”

Dalam bahasa sederhana bisa dipersingkat. Michael Strangelove ingin mengatakan bahwa digitalisasi telah memungkinkan khalayak berpindah ke  media   multiplatform termasuk media sosial. Public tak tertarik lagi menonton TV konvensional karena semua informasi dan hiburan yang dibutuhkan ada dalam satu genggaman gawai.

Penulis akan fokus ke tv public khususnya tv public local termasuk tvri sumsel, dimana sebagian dari daerah itu saya pernah menjadi lokomotif-nya. Usia tua tak menjamin lebih dewasa, tua tak menjamin lebih bijak, tua tak menjamin lebih cerdas, tua juga tak menjamin lebih paham. 

Sebagai putra daerah yang lahir dan bersekolah dari SD hingga perguruan tinggi di Sumsel, memudahkan saya berkreasi ketika “menakhodai” tvri sumsel. Saya merasa lebih gampang dan lebih cepat memahami apa yang perlu saya perbuat berkaitan dengan tontonan di layar tvri Sumsel. Singkatnya lahirlah gagasan saya tentang “Trilogi  Program”. Trilogi Program ini betul-betul hasil “tirakat” saya sebagai seorang broadcaster.  

Perenungan, yang dibalutdenganpengetahuan , pengalaman dan semangat sebagai putra daerah dianalisis sedemikian rupa sehingga betul-betul mengerucut setidaknya bagaimana agar TVRI Sumsel masih diingat oleh masyarakat. Singkatnya baik secara teknologi penyebaran informasi dan program,  tvri Sumsel tak se-menarik ketika media ini masih berumur 10 tahun-an. 

Secara Teknis Transmisi yang memungkin program tvri sumsel diterima melalui FTA (free to air)  itu-pun tak seindah yang dibayangkan. Penonton tvri sumsel hanya ada di Kota Palembang, Ogan Ilir, Banyu Asin dan Prabumulih. Cara mengukurnya sederhana, tengok rumah penduduk yang memiliki antena TV (FTA), itulah potensi menonton TV konvesional secara free to air. Jika di rumah penduduk tidak tampak ada antena, berarti hilang-lah potensiitu. 

Di daerah lain seperti Baturaja (OKU) meskipun power transmisinya masih cukup aktif tapi penduduk tak memiliki antena FTA, tetapi menggunakan parabola. Di Lubuk Linggau juga demikian, power pemancar cukup memadai, tetapi saying tak ada rumah yang tampak memiliki antena FTA. Atas dasar ini juga kita pernah menyewa satelit A siasat 9 kemudian beralih ke Telkom-IV atau satellite Merah Putih. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan