Tradisi "Basawah" Ughang Bailangu: Jejak Kebudayaan Pertanian Berkelanjutan

Tradisi "Basawah" Ughang Bailangu: Jejak Kebudayaan Pertanian Berkelanjutan-Foto: Net-

SUMATERAEKSPRES.ID - Bailangu, sebuah kawasan yang tak hanya mempesona dengan alamnya yang hijau dan udaranya yang segar, tetapi juga merangkum dalam dirinya suatu tradisi pertanian yang kaya akan makna.

Di tengah kemajuan zaman, kehidupan tradisional di Bailangu masih terus dijaga dengan erat, salah satunya melalui serangkaian proses pertanian yang disebut "Basawah" atau yang sering dikenal sebagai upacara pertanian.

Pada awal musim tanam, ritual "Marencam" menjadi titik awal dalam proses panjang pertanian. Ini adalah saat para petani menabur benih padi dengan penuh perhitungan di lokasi yang telah disiapkan.

Mereka menggunakan alat tradisional yang disebut "tugal," sebuah tongkat kayu yang tajam di ujungnya untuk membuat lubang-lubang kecil tempat benih ditanam.

BACA JUGA:Logistik Pemilu Tiba di TPS 08 Desa Bailangu Timur, Pelaksanaan Tertib dan Lancar

BACA JUGA:Sukses Besar! Lomba Gaplek Berlangsung Meriah di Desa Bailangu dan Bailangu Timur

Proses selanjutnya, "Mancemai/Nyemai," melibatkan menanam bibit padi yang telah tumbuh dari persemaian ke sawah.

Ini adalah momen di mana ketelitian dan keuletan petani diuji, karena mereka harus merawat anak padi tersebut hingga tumbuh sekitar 75cm hingga 1 meter, mengingat kondisi sawah tadah hujan yang menjadi ciri khas Bailangu.

Kemudian, tahapan "Batandur" dilakukan untuk menanam padi secara permanen di sawah. Alat "tugal" juga digunakan di sini, tetapi dengan penyesuaian pada bentuk dan fungsinya.

Tugal untuk batandur memiliki gagang yang berfungsi untuk menekan anak padi ke tanah dan mencegah akar padi patah saat ditanam.

BACA JUGA:KPPS Desa Bailangu Timur Resmi Dilantik: Suara Rakyat Menanti di Pemilu 2024

BACA JUGA:Jalan Amblas di Desa Bailangu Langsung Diperbaiki, Kasih Jempol Buat Pj Bupati!

Saat tanaman tumbuh, "Ngumput" atau membersihkan rerumputan di sekitar padi menjadi kegiatan penting. Tujuannya sederhana: agar rumput tidak menghambat pertumbuhan padi. Proses ini sering disebut juga sebagai "nyiang anak padi."

Puncak dari kesabaran dan kerja keras petani terjadi saat "Ngetam," yaitu saat panen dilakukan. Alat tradisional "tuai" digunakan untuk memotong tangkai padi dengan cermat, menandai hasil dari semua proses sebelumnya.

Namun, tidak berakhir di situ. Setelah panen utama, ada lagi proses "Ngetam Penyawan/Lenas" yang merupakan panen susulan untuk memanfaatkan hasil yang tertinggal atau belum matang saat panen utama.

Proses selanjutnya, "Ngirik/Ngeghik," adalah langkah untuk memisahkan gabah dari tangkainya secara tradisional dengan menginjaknya pada lantai anyaman bambu.

BACA JUGA:Maknanya Dalem! Berikut Sejarah Desa Bailangu Kabupaten Muba

BACA JUGA:Desa Bailangu Dapat Hadiah Motor, Apriyadi Bakal Umrahkan Gratis

Setelah itu, "Ngangen" menjadi tahapan penting dalam memilah-milah gabah yang bernas dan hampa menggunakan alat tradisional bernama "Nyighau."

Selanjutnya, proses "Nyemo" dilakukan dengan menjemur padi di bawah sinar matahari untuk mematangkan buah padi dan memudahkan proses pengupasan kulit padi.

Dari proses ini, padi siap diolah menjadi beras. Tradisi mabrek, atau penggilingan padi, adalah langkah terakhir dalam menghasilkan beras.

Meski zaman telah berubah, Bailangu tetap mempertahankan tradisi ini dengan penuh kebanggaan, menggambarkan kearifan lokal dalam menjaga kesuburan tanah dan menghasilkan hasil pertanian yang berkualitas.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan