Zaytun Robin

Lebaran Beijing : Oleh Dahlan Iskan

AKHIRNYA saya bisa berbicara dengan Robin Simanullang. Ia adalah orang Kristen yang ikut salat Idulfitri di Pesantren Al-Zaytun Lebaran yang lalu. Robin berada di saf paling depan, hanya duduk di kursi. Ia tidak ikut salat seperti jemaah lainnya, tapi Robin duduk khusyuk berdoa sesuai dengan agamanya.

"Saya sudah ikut salat Idulfitri sejak tahun 2002 atau 2003. Setiap tahun. Sudah seperti wajib," katanya. Robin mengaku suka mendengarkan khutbahnya. Sangat sejuk. Ia, katanya, selalu kangen mendengar khutbah yang dibawakan oleh pimpinan Al-Zaytun Syekh Panji Gumilang.

Perkenalannya dengan Al Zaytun justru ketika ia tahu pesantren itu begitu banyak diserang di kalangan Islam. Sebagai wartawan ia ingin tahu ada apa di Al-Zaytun. Lalu pergi ke Indramayu. Ke Haurgeulis. Ke pesantren itu.

Robin kaget. Begitu besar Al-Zaytun. Begitu modern. Tertata. Lalu ia menemui Syekh Panji. "Mau keliling dulu baru wawancara, atau wawancara dulu baru keliling," ujar Robin mengutip kata-kata Syekh ketika itu. "Saya pilih keliling dulu," jawabnya.

Saat keliling pesantren itu Robin melihat brosur Al-Zaytun. Di situ disebutkan mata pelajaran apa saja yang diajarkan. Salah satunya: Pancasila. Robin kaget. Di zaman itu sudah ada pesantren yang punya mata pelajaran Pancasila. BACA JUGA : Mitos VS Fakta Seputar Gigi

Setelah wawancara Robin berkesimpulan bahwa pesantren ini tidak seperti yang diisukan: sebagai jaringan Negara Islam Indonesia (NII). Belakangan Robin justru mendengar penegasan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), kala itu, Jenderal Hendropriyono bahwa semua isu itu tidak benar.

Rupanya pernah ada seorang unsur pimpinan di situ yang keluar atau dikeluarkan. Ia yang awalnya membuat isu NII tersebut. Bahkan belakangan ada usaha untuk mengambil alih Al-Zaytun yang asetnya begitu besar. Robin tahu banyak soal itu, tapi saya belum berhasil menghubungi orang dimaksud.

Hubungan Robin dengan Al-Zaytun lebih dalam lagi. Tahun 2004 ia diberitahu Syekh Panji: beberapa pihak ingin bekerja sama untuk menerbitkan majalah Al-Zaytun. Ada yang mengajukan proposal dana Rp10 miliar. Ada juga yang sampai Rp20 miliar. Lalu, Robin, sebagai wartawan merasa mampu menerbitkannya.

Dengan biaya yang lebih murah. Bahkan tidak perlu biaya. Yang penting majalahnya disebarkan oleh Zaytun. Sebanyak 20.000 eksemplar. Harus laku semua.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan