Pengamat politik Sumsel, Bagindo Togar, mengungkapkan, untuk maju dalam pilkada dan pileg memang butuh biaya tidak sedikit. Dia mencontohkan, ‘amunisi’ untuk maju pilbup/pilwako setidaknya butuh Rp40-70 miliar. Sedangkan pilgub tentu lebih besar lagi. Bisa Rp300 miliar lebih.

Kebutuhan modal untuk nyalon dewan (DPR/DPRD) juga tidak kecil.  Untuk dana ke Senayan sudah tentu butuh lebih besar dari yang nyaleg tingkat provinsi, apalagi dibandingkan kabupaten/kota. Hal ini salah satu yang kemudian membawa dampak tidak baik bagi sejumlah oknum pejabat/dewan yang terpilih.

Cost politik yang besar, termasuk money politic, melahirkan oknum birokrat dan legislator/senator yang menyimpan dari visi dan misi  serta tujuan awal mereka maju mencalonkan diri.

“Bukannya memperjuangkan kesejahteraan rakyat, tapi kesejahteraan dirinya dulu yang dia upayakan. Bagaimana mengembalikan modal, main proyek dan lainnya. Semua disikat. Miris jadinya,” beber dia. BACA JUGA : Tolong Pemerintah Pusat, Tembok Penahan Daerah ini Nyaris Roboh

Bagaimana kemudian mereka berusaha memperkaya diri. Dari segi gaya hidup (lifestyle), belakangan seringkali para pejabat berpenampilan hedon.

“Tapi coba lihat, banyak masyarakat kita yang hidupnya memprihatinkan. Mestinya pikirkan itu dengan serius, apa solusinya sehingga dengan kekuasaannya bisa membuat semua hidup layak dan sejahtera,” imbuh Bagindo.

Dampak dari kondisi sebagian masyarakat hidup dalam garis kemiskinan, angka kriminalitas cukup tinggi di Sumsel. “Jika para oknum pejabat maling uang rakyat (korupsi),  banyak warga terjerat kriminalitas jalanan. Lihat saja, tiap hari terjadi,” ungkapnya.

Di tingkat penyelenggara pemilu, khususnya pengawas, sudah empat daerah yang Bawaslunya terjerat kasus dugaan korupsi.  Menurut Bagindo, pesta demokrasi 2024 menjadi momen untuk membenahi banyak hal. “Dimulai dari penyelenggara pemilu dulu harus baik. Baru bisa menegakkan aturan demi mendapatkan para pemimpin dan anggota dewan yang baik pula,” tuturnya.