SUMATERAEKSPRES.ID - Saat ini, sistem pendidikan di Indonesia mengalami pergeseran signifikan dari pendekatan yang dulu berpusat pada Nilai Ebtanas Murni (NEM) menuju sistem kelulusan yang lebih komprehensif.
Transformasi ini membawa perubahan penting dalam cara siswa dinilai dan diterima di jenjang pendidikan yang lebih tinggi, serta dalam proses persiapan mereka untuk dunia kerja.
Pada era sebelumnya, NEM, atau Nilai Ebtanas Murni, menjadi penentu utama kelulusan siswa di berbagai jenjang pendidikan.
NEM dihitung dari rata-rata nilai Ujian Nasional (UN) dan ujian sekolah, menjadikannya satu-satunya tolok ukur keberhasilan siswa di bidang akademis.
BACA JUGA:Mendikdasmen Tinjau SMK Muhammadiyah Palembang dan Bahas Kebijakan Pendidikan ke Depan
Sistem ini menekankan pada pencapaian hasil ujian dengan ketat, sehingga siswa harus mencapai batas nilai tertentu untuk dinyatakan lulus.
Selain menjadi syarat kelulusan, NEM juga memainkan peran besar dalam proses seleksi masuk sekolah favorit dan sekolah negeri.
Namun, pendekatan yang mengutamakan nilai ujian ini menimbulkan tekanan besar bagi siswa.
Konsentrasi pada hasil ujian semata dianggap mengabaikan keterampilan praktis serta pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman belajar di luar kelas.
BACA JUGA:Info Terkini: LPTK Baru Terbitkan Sertifikat Pendidik Usai Yudisium, Catat Waktunya
BACA JUGA:Hindari Penyimpangan, Ajak Masyarakat Awasi Pembangunan Sarpras Pendidikan
Sistem Kelulusan Sekarang: Lebih Holistik dan Adaptif
Pemerintah kini menerapkan sistem kelulusan yang lebih berfokus pada pengembangan holistik siswa. Ada beberapa perubahan mendasar dalam sistem kelulusan modern ini:
Sistem Zonasi
Sistem zonasi diterapkan sejak 2017 untuk penerimaan siswa baru. Alih-alih seleksi berdasarkan nilai, siswa diterima di sekolah sesuai dengan wilayah tempat tinggal mereka.
Sistem ini dirancang untuk menciptakan pemerataan akses pendidikan.