Menurut Azim, rumah-rumah panggung tersebut sudah ada sejak tahun 1920-an. "Dulu mereka tidak boleh bangun rumah panggung, boleh rumah rakit be," ungkap Azim.
Larangan ini mencerminkan perbedaan perlakuan terhadap warga keturunan Tionghoa di masa kolonial, di mana mereka hanya diizinkan membangun rumah rakit di sepanjang aliran sungai.
Sejak Belanda membangun infrastruktur jalan, warga keturunan Tionghoa mulai mendirikan rumah panggung sebagai tempat tinggal mereka.
Azim menyebutkan bahwa rumah-rumah panggung ini awalnya dibangun di sekitar Kampung 3-4 Ulu, lalu berkembang hingga ke Kampung 7 Ulu.
Keberadaan rumah panggung ini bukan hanya sekadar tempat tinggal, tetapi juga menjadi pusat aktivitas perdagangan di masa itu.
Sungai Cinteren menjadi jalur transportasi utama bagi para pedagang dan warga, menghubungkan berbagai kampung di sepanjang tepian sungai.
BACA JUGA:Lagi Mencuci Pakaian, Lansia Terpeset dan Tenggelam di Sungai Musi, Begini Kondisinya
Nama Sungai Cinteren juga memiliki cerita unik. Dikatkan Aziz Amin, salah satu kerabatnya Abu Hanifah, seorang peneliti sejarah lokal, menjelaskan bahwa nama tersebut diduga berasal dari kata "sintheren." Sungai ini memiliki kaitan dengan sejarah awal kedatangan komunitas Muslim Tionghoa di Palembang. "
Di mana tempat Cina Muslim dari Tiongkok membuka pesantren," kata Abu Hanifah, seperti diterangkan oleh Azim Amin. Kehadiran pesantren yang dibangun oleh warga Tionghoa Muslim menunjukkan bahwa Palembang sejak lama telah menjadi tempat bertemunya beragam budaya dan kepercayaan.
Selain Sungai Cinteren, ada pula Sungai Pabrik yang tak kalah menarik dari segi sejarah. Sungai ini dahulu dikenal dengan sebutan "Sungai Saudagar Kucing," kata Kgs H Muhammad atau yang biasa disapa Cek Mamad Blando. "Itu sungai saudagar kucing, pusat pelabuhan gudang batu," jelasnya.
Sungai ini dulu menjadi tempat para saudagar menjalankan bisnis mereka, termasuk perdagangan batu dan barang-barang berharga lainnya.
Nama "Sungai Pabrik" konon diberikan karena di area sekitar sungai tersebut terdapat pabrik-pabrik yang dikelola oleh para pengusaha Belanda dan keturunan Tionghoa.
Sayangnya, seiring dengan berjalannya waktu dan modernisasi yang pesat, Sungai Cinteren dan Sungai Pabrik mulai kehilangan perannya sebagai nadi kehidupan warga Palembang.
Banyak warga yang tidak lagi mengenal sejarah di balik nama-nama sungai ini. Namun, bagi Azim Amin, Abu Hanifah, dan Kgs H Muhammad, kisah-kisah tentang Sungai Cinteren adalah warisan yang harus terus dilestarikan.
Mereka berharap generasi muda dapat memahami dan menghargai sejarah panjang yang menjadikan Palembang sebagai kota multikultural yang kaya akan tradisi.