Syukurnya sejak lama kebiasaannya bersama sang istri menyisihkan uang dan membeli emas sepulang melaut. “Ketika butuh uang mendesak untuk biaya hidup, pendidikan anak saat nganggur begini bisa gadaikan emas ke Pegadaian. Atau sebaliknya saat memerlukan modal berlayar,” kata Parji. Apalagi sekarang sudah ada UPC BRI KTM Telang terdekat dan agen Pegadaian di Sungsang.
Terakhir Parji menggadaikan cincin dan kalung 2 suku. Ia meminjam Rp10 juta untuk anaknya kuliah. Syaratnya cuma KTP dan agunan emas perhiasan, tanpa BI checking, biaya administrasi sekitar Rp50 ribu. Sewa modal Rp120 ribu per 15 hari (1,2 persen). Jauh sekali dibanding mengajukan pinjman ke pembiayaan lain. Selain banyak syarat, prosesnya lama, dan bunganya mahal.
“Saya lunasi hingga jatuh tempo (120 hari) bulan Maret (2024) plus sewa modal Rp10,96 juta. Masih terjangkau, penghasilan saya dari nelayan Rp3-4 juta per bulan,” terangnya. Satu lagi yang bikin ia memilih gadai emas, Parji tak perlu sampai menjual emas kawin yang punya nilai historis atau kenangan tak terlupakan.
BACA JUGA:Lebih Untung Nabung Emas Perhiasan atau Logam Mulia? Ini Jawabannya!
BACA JUGA:Jobfair Akselerasi Ketenagekerjaan, Menuju Indonesia Emas 2045
Agen sekaligus nasabah Pegadaian, Anita (30) mengaku menjadi nasabah 2 tahun terakhir. “Semula saya ke Pegadaian Dempo Palembang, sekitar 2 jam perjalanan naik mobil. Setelah ada UPC Telang di Tanjung Lago saya pindah ke sini, hanya 45 menit dari Sungsang,” ungkapnya, Senin (9/9).
Dia mengaku sering menggadaikan perhiasan, setahun 12 sampai 14 kali. Uangnya ia gunakan untuk modal usaha kredit perabotan rumah tangga atau elektronik ke puluhan konsumennya di Desa Sungsang I hingga IV. “Tergantung permintaan, kalau sedang banyak perlu modal tambahan saya gadaikan emas, belanja barang lagi. Sekali gadai 5 suku dengan pinjaman hingga Rp30 juta-an,” tutur pemilik Toko Nur Sipa ini.
Menurut Anita, perputaran uang (cashflow) tokonya sangat cepat. Setelah uangnya terkumpul, ia tebus kembali emasnya. “Paling lama satu bulan. Butuh uang lagi, gadai lagi, begitu seterusnya,” terangnya. Dari sana, Anita lalu ditawari menjadi agen Pegadaian dengan benefit komisi setiap transaksi nasabah dan bonus fee. “Saya satu-satunya agen Pegadaian di Desa Sungsang sejak 2023,” imbuhnya.
Sekarang ada 30-an nasabah Pegadaian Telang, warga Sungsang I-IV sering menitipkan gadai emas-nya ke Anita. “Mereka berprofesi nelayan, pengepul ikan, pedagang kelontong, petani kelapa. Kalau ke UPC sendiri kan keluar biaya, beli minyak kendaraan atau naik travel Rp100 ribu. Lewat saya gratis, mereka cukup membayar administrasi di Pegadaian,” ungkapnya. Jadi sewaktu ke UPC gadaikan emas, Anita sekaligus memproses gadai emas nasabahnya.
“Pinjamannya nanti ditransfer oleh Pegadaian, sementara surat gadai-nya saya serahkan ke nasabah. Dari surat ini mereka tahu berapa lama jatuh tempo, pinjaman, emas yang digadai, dan sewa modal. Demikian ketika mau pelunasan dan penebusan emas juga saya bantu,” beber Anita.
Sebagai agen, Anita mengaku mendapat komisi dari setiap transaksi. “Kadang pula saya mendapat uang ‘terima kasih’ dari nasabah Rp50-100 ribu. Lumayan, tapi saya tidak minta,” tuturnya. Selain gadai, ia juga memfasilitasi layanan Pegadaian lain, seperti kredit kendaraan bermotor, pembiayaan usaha mikro, nabung emas, hingga daftar haji.
Dengan adanya Pegadaian, Anita dan nasabah Sungsang tak perlu menjual perhiasaan ke toko emas untuk modal melaut, jualan warung, dan sebagainya. Di Sungsang toko emas banyak, cuma pas dijual susah beli lagi, harga emas mahal. “Kalau digadai pasti kami tebus. Untuk investasi, bisa pakai untuk hadiri pernikahan. Di sini ibu-ibunya suka mengoleksi dan memakai perhiasan emas,” tandasnya.
Mantan Kepala Desa Sungsang I periode 2015-2022, H Fahrurozi menjelaskan tradisi menyimpan dan memakai emas perhiasan sudah menjadi budaya (adat istiadat) masyarakat Sungsang I-IV dan Marga Sungsang. “Bagi kami ini suatu hal lumrah, terutama pergi ke hajatan atau hari raya. Kebiasaan ini sudah ada sejak zaman dulu,” paparnya.
Dikatakan, mayoritas atau 90 persen penduduk Sungsang berprofesi nelayan tangkap. Selain orang lokal (Melayu), mereka perantauan Bugis, Sunda, Jawa, Minangkabau, China. Jadi ceritanya, sepulang melaut masyarakat sering memperoleh uang banyak. Karena zaman dulu belum ada bank, mereka menyimpannya di bawah kasur.
Sekitar tahun 1960-1970 berdirilah toko emas di daerah Sungsang. Daripada menyimpan uang dimakan rayap, mereka membelikannya emas. Banyak juragan ikan dan kapal, mereka membeli bukan berbentuk gram-an atau suku, tapi canting (wadah bekas cat). Semua emas itu dipakai orang tua dan anak-anak gadis mereka. “Turun temurun. Mau lihat pas ada kenduri, keluar semua perhiasannya,” imbuh Fahrurozi.
Kepemilikan emas juga menandakan status (strata) sosialnya di masyarakat dan seseorang yang berhasil (kaya). “Tinggal seberapa banyak tergantung ekonominya. Ada yang sampai 100 suku. Bagi warga kita, menyimpan emas sama dengan menyimpan (investasi) uang. Nilainya kan selalu naik, jadi untung bertahun-tahun,” terang pria yang pernah menjadi nelayan ini.