Tidak dimuatnya hal tersebut dalam ketentuan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengakibatkan terdakwa tidak mempunyai acuan yang jelas dan tegas dalam melakukan pembuktian, hal tersebut akan merugikan terdakwa dan akan berpengaruh pada kualitas pembuktian yang dilakukan oleh terdakwa sendiri.
Pembalikan beban pembuktian memakai standar minimal 2 (dua) alat bukti sebagai mana yang dikehendaki oleh Pasal 183 KUHAP, namun tidaklah bisa disamaratakan antara perkara yang satu dengan perkara lainnya dan juga tidak bisa disamaratakan menyangkut kemampuan dan pengetahuan hukum antara terdakwa yang satu dengan terdakwa lainnya. Dari itu hendaklah hal tersebut dimuat dalam ketentuan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pembalikan beban pembuktian yang dimuat dalam ketentuan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berlaku saat ini. Hanya mengatur apabila terdakwa berhasil membuktikan bahwa apa yang diterimanya bukan merupakan suatu gratifikasi, atau penerimaan itu tidak ada hubungannya dengan jabatan atau kedudukannya atau dengan kewajiban atau tugasnya.
Maka sesungguhnya sama artinya dengan terdakwa telah berhasil membuktikan dirinya tidak terbukti menerima gratifikasi yang dianggap berasal dari pemberian suap. Meskipun pada dasarnya, mengenai status telah berhasil atau tidak berhasilnya suatu pembalikan beban pembuktiaan yang dilakukan terdakwa beserta penasehat hukumnya tetap pada Majelis Hakim.
Namun tidaklah adil rasanya bagi terdakwa, apabila UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mengatur tentang apa yang dijadikan parameter oleh hakim untuk dapat menyatakan berhasil atau tidaknya pembuktian yang dilakukan oleh terdakwa tersebut. Dengan kata lain harusnya ada pengaturan yang jelas dan tegas mengenai tolak ukur tentang berhasil atau tidaknya pembalikan beban pembuktian yang dilakukan oleh terdakwa.
Ketentuan UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mengatur secara jelas dan tegas mengenai pada saat kapan penerapan pembalikan beban pembuktian atau dengan kata lain, pada agenda sidang yang manakah dilaksanakan diterapkan pembalikan beban pembuktian tersebut.
Ditambah lagi dengan adanya perbedaan ketentuan Pasal 38 A dengan ketentuan Pasal 38 B ayat (4). Ketentuan Pasal 38 A mengatur bahwa : Pembuktian sebagai-mana dimaksud Pasal 12 B ayat (1) dilakukan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan. Dalam ketentuan pasal ini tidaklah disebutkan secara tegas, dalam agenda sidang apa dilaksanakan penerapan pembalikan beban pembuktian tersebut.
Sementara ketentuan Pasal 38 B ayat (4) menyebutkan: Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi.
Perbedaan pendapat dan perbedaan pemahaman antara para ahli hukum dan para penegak hukum terutama kalangan hakim di Indonesia yang masih menganggap bahwa pembalikan beban pembuktian melanggar asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), akan mempersulit penerapan pembalikan beban pembuktian dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Bila dikaji dari perspektif kebijakan hukum pidana, eksistensi pembalikan beban pembuktian seharusnya mengandung prevensi khusus bagi tindak pidana korupsi yang dikategorikan sebagai extra ordinary crime yang juga membutuhkan extra ordinary enforcement dan extra ordinary measures. Sehingga formulasi mengenai pembalikan beban pembuktian masih menimbulkan perdebatan. (*)