Ketentuan Pasal 37 A ayat (2), yang mengandung arti selain terdakwa diwajibkan untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, terdakwa juga diwajibkan memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan dan melakukan pembalikan beban pembuktian hanya dalam hal membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya yang patut di duga diperoleh dari hasil korupsi.
Hal ini berarti bahwa kepada terdakwa dibebankan untuk membuktikan 2 (dua) hal, yaitu Pertama, membuktikan unsur kesalahan (schuld) terdakwa, dan Kedua, melakukan pembuktian terhadap asal usul mengenai kepemilikan harta kekayaan pelaku yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
Menurut teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan (balanced probability of principles), terhadap kesalahan orang (schuld) tidak dapat dilakukan pembalikan beban pembuktian, tetapi dibuktikan secara negatif menurut undang-undang (negatief wettelijke bewijs theorie) oleh penuntut umum, dan terhadap kepemilikan harta pelaku tindak pidana korupsi dapat dipergunakan atau dapat dibuktikan dengan pembalikan beban pembuktian.
Ketentuan Pasal 37 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sangatlah bertolak belakang dengan prisip-prinsip yang terkandung dalam teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan (balanced probability of principles). Ketentuan Pasal 37 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Hal ini berarti bahwa dalam ketentuan Pasal 37 tersebut, terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan unsur kesalahan (schuld) terdakwa, sementara hal tersebut tidak dibenarkan dalam teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan (balanced probability of principles).
Kemudian juga dalam penjelasan Pasal 37 ayat (2) UU Tipikor dikatakan secara tegas bahwa ketentuan ini tidak menganut sistem pembuktian secara negatif menurut undang-undang.
Sementara itu, teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan (balanced probability of principles) mengedepankan keseimbangan secara proporsional antara pembuktian secara negatif menurut undangundang (negatief wettelijke bewijs theorie) yang dilakukan oleh penuntut umum dengan pembalikan beban pembuktian yang dilakukan oleh terdakwa menyangkut asal usul harta kekayaan miliknya.
Berdasarkan Pasal 12 B ayat (1) UU Tipikor yang mengatur tentang suap dan gratifikasi, dalam ketentuan pasal tersebut terlihat jelas bahwa kepada terdakwa dibebankan untuk membuktikan, yaitu pertama, membuktikan unsur kesalahan (schuld) terdakwa menyangkut delik suap.
Kedua, melakukan pembuktian terhadap gratifikasi tersebut bukan merupakan suap. Hal seperti di jelaskan di atas mengenai pembuktian pertama yang dilakukan oleh terdakwa, juga tidak dibenarkan dalam teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan (balanced probability of principles).
Ketentuan Pasal 12 B ayat (1) huruf a UU Tipikor, merupakan penerapan pembalikan beban pembuktian secara murni, yang tidak memberi ruang bagi penuntut umum untuk membuktikan secara negatif menurut undang-undang (negatief wettelijke bewijs theorie).
Kebijakan legislasi yang diharapkan lahir dari suatu ke-bijakan dalam hukum pidana, dalam bentuk pengaturan mengenai “teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan (balanced probability of principles)” yang seharusnya diadopsikan ke dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diharapkan dapat menjadi penyeimbang secara proporsional antara kewenangan penuntut umum dalam membuktikan secara negatif menurut undangundang (negatief wettelijke bewijs theorie) dengan kepentingan terdakwa dalam hal membuktikan asal-usul harta yang dimilikinya dan juga diharapkan menjadi sarana atau alat untuk mengembalikan aset negara yang dikorupsi.
Teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan (balanced probability of principles) dari Oliver Stolpe dapat menjadi justifikasi teoritis untuk menerapkan pembalikan beban pembuktian. Pembalikan beban pembuktian saat proses persidangan berlangsung, terdakwa juga dibebankan melakukan pembuktian mengenai unsur “menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili” dan unsur “menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang ada hubungannya dengan jabatannya (in zijn bedeming)”.
Unsur-unsur yang harus dibuktikan secara esensial merupakan pembuktian unsur-unsur yang terkait langsung dengan pembuktian kesalahan (schuld) dari terdakwa. Dengan dilakukannya pembalikan beban pembuktian terhadap unsur kesalahan (schuld) dari terdakwa dalam perkara ini, dengan sudut pandangan yang netral haruslah diakui bahwa hal tersebut menyebabkan beralihnya asas praduga tidak bersalah (presumption ofinnocent) menjadi asas praduga bersalah (presumption of guilt) dan relatif cenderung dianggap sebagai pengingkaran terhadap asas-asas yang telah berlaku secara universal.
Tidak dapat dipungkiri bahwa telah terjadi akses negatif dari pembalikan beban pembuktian karena pembalikan beban pembuktian tersebut ditujukan terhadap pembuktian kesalahan (schuld) dari terdakwa. Dengan mengedepankan keseimbangan secara proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaan milik pelaku yang yang diduga kuat berasal dari korupsi disisi lainnya.
Suatu pembalikan beban pembuktian terdakwa harus dapat membuktikan secara berlawanan unsurunsur yang disangkakan terhadap terdakwa dengan menggunakan standar minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana yang dikehendaki oleh Pasal 183 KUHAP. Memang hal ini sudah di muat dalam ketentuan Pasal 26 A Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hanya saja pengaturan mengenai hal ini masih belum lengkap dan memadai.
Dikatakan demikian karena ketentuan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mengatur secara tegas menyangkut hal-hal apa saja yang harus dibuktikan, instrumen apa saja yang dapat dijadikan sebagai alat bukti oleh terdakwa, dan sampai sejauh mana kewenangan dan batasan-batasan yang diberikan pada terdakwa dalam hal melakukan pembuktian.