Namun keberatan tersebut tidak beralasan dikarenakan sistem pembalikan beban pembuktian ini ditujukan terhadap pembuktian oleh termohon atau pihaka yang menguasai aset tentang asal usul asetnya tersebut bukanlah berasal dari atau hasil tindak pidana.
Adapun jaksa penuntut umum berkewajiban membuktikan kesalahan terdakwa, sedangkan terdakwa mempunyai hak untuk memberikan pembelaan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi dan hak untuk membuktikan bahwa aset atau harta kekayaannya bukan hasil korupsi. Sehingga disini masing-masing pihak mempunyai kewajiban berimbang.
BACA JUGA:Makna Merdeka Belajar bagi Anak Berkebutuhan Khusus
BACA JUGA:Antara Egoisme dan Sikap Mendahulukan Kepentingan Orang Lain
Elwi Danil berpendapat pembalikan beban pembuktian atau “omkering van de bewisjlat” (the reversal of the burden of proof), sering juga disebut sistem pembuktian terbalik, secara umum dapat dipahami sebagai suatu sistem yang meletakkan beban pembuktian di tangan terdakwa untuk membuktikan ia tidak bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya”.
Sementara penuntut umum dibebaskan dari kewajiban pembuktian. Hanya karena alasan pembuktian yang sulit, banyak koruptor di Indonesia tidak tersentuh hukum pidana. Mereka cenderung berlindung di balik asas praduga tak bersalah bahkan dapat dikata-kan “dimanjakan” oleh asas hukum pidana itu sendiri, sehingga kepentingan masyarakat banyak terabaikan.
Modus operandi dari kasus korupsi yang semakin canggih dan modern menjadi sebab korupsi sering dikategorikan sebagai invisible crime yang sangat sulit memperoleh prosedural pembuktiannya. Pengimplementasian pembalikan beban pembuktian tersebut diharapkan mampu mengeliminasi tingkat kesulitan pembuktian dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pembalikan beban pembuktian dapat dilakukan terhadap asal usul mengenai kepemilikan harta kekayaan pelaku yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi sehingga tidak berdasarkan pada pembuktian secara negatif menurut undang-undang (negatief wettelijke bewijs theorie).
Pembalikan beban pembuktian dapat dilakukan terhadap kepemilikan harta pelaku tindak pidana korupsi dengan menitikberatkan pada pengembalian harta negara yang dikorupsi oleh pelaku tindak pidana korupsi.
Polarisasi pemikiran ini didasarkan pada filosofi bahwa terhadap kesalahan orang (schuld) tidak dapat dilakukan pembalikan beban pembuktian karena melanggar prinsip “due procees of law”, tetapi terhadap kepemilikan harta pelaku tindak pidana korupsi dapat dipergunakan pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan (balanced probability of principles).
Teori tersebut secara imperatif tetap menempatkan adanya kewajiban penuntut umum untuk membuktikan secara negatif menurut undang-undang (negatief wettelijke bewijs theorie), tentang aspek yang bersifat menyangkut status sosial terdakwa (persoon). Apabila hal ini dapat dibuktikan, baru kemudian adalah kewajiban terdakwa melalui mekanisme pembalikan beban pembuktian untuk membuktikan serta menjelaskan bagaimana yang bersangkutan mampu dapat hidup dengan kekayaan yang ada, atau bagaimana kekayaannya tersebut berada di bawah kekuasaannya.
Pelaku yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi tetap mempergunakan jalur pidana dengan pembuktian secara negatif menurut undang-undang (negatief wettelijke bewijs theorie) terhadap kesalahan (schuld) pelaku. Terhadap pengembalian harta kepemilikan pelaku tindak pidana korupsi dapat dipergunakan pembalikan beban pembuktian, karena dimensi ini relatif tidak bersinggungan dengan aspek HAM, tidak melanggar hukum acara pidana, hukum pidana materiil maupun instrumen hukum internasional.
Di satu sisi, untuk membuktikan kesalahan (schuld) pelaku tindak pidana korupsi tetap berpegangan pada ketentuan teori hukum pembuktian yang tetap mengedepankan teori pembuktian secara negatif menurut undangundang (negatief wettelijke bewijs theorie). Untuk mengembalikan aset hasil dari tindak pidana korupsi, pembuktian terhadap kepemilikan harta kekayaan pelaku dilakukan dengan jalan menggunakan pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan (balanced probability of principles).
Pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan (balanced probability of principles) dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa teori ini dapat menjadi solusi penerapan pembalikan beban pembuktian dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terutama menyangkut asal usul harta kekayaan milik terdakwa.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa eksistensi pembalikan beban pembuktian pada ketentuan Pasal 37 A dan Pasal 38 B ayat (1) dan (2) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, didasarkan pada tujuan pengembalian aset (asset recovery) hasil tindak pidana korupsi.
Pengaturan mengenai pembalikan beban pembuktian dalam ketentuan Pasal 37 A dan Pasal 38 B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dinilai belumlah sepenuhnya dapat dikatakan sudah mengacu kepada “teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan (Balanced Probability of Principles)” dari Oliver Stolpe.