JAKARTA, SUMATERAEKSPRES.ID - Polemik Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) pasca terbitnya Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024 membuat Komisi IX DPR RI memanggil Kementerian Kesehatan, DJSN, dan BPJS Kesehatan dalam rapat kerja, kemarin (6/6). Setelah pemaparan, anggota Komisi IX mengungkapkan jika keputusan penerapan KRIS harus dievaluasi.
Salah satu kesimpulan adalah mengevaluasi Perpres 59/2024. Komisi IX mendesak Kemenkes, DJSN, BPJS Kesehatan, dan Dewas BPJS Kesehatan untuk mengkaji kesiapan rumah sakit, implikasi KRIS terhadap manfaat layanan, tarif, iuran, hingga Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan.
Anggota Komisi IX dari Fraksi Nasdem Irma Suryani dalam tanggapannya mengatakan sesuai yang cepat-cepat pasti tidak bagus. “KRIS tidak sesuai amanat konstitusi,” cetusnya. Irma menegaskan kalau KRIS tidak berasas keadilan. Ini karena ada wacana satu iuran untuk semua kelas.
Senator asal Nasdm Dapil Sumsel 2 ini menyinggung tidak pernah mendapat informasi terkait naskah akademik KRIS. Irma pun kaget ketika pemerintah sudah mendengungkan KRIS. Dengan adanya kajian itu menurutnya dapat membantu untuk menelaah apakah kebijakan KRIS ini tepat atau tidak.
“Rakyat ini bertanya kepada Komisi IX, kelas standar itu seperti apa?” katanya. Irma juga menyebut rumah sakit belum siap. “Saya tahu persis kondisi di Dapil kami,” imbuhnya. Salah satu syarat KRIS adalah satu kamar maksimal empat tempat tidur. Selama ini, menurut Irma banyak rumah sakit yang menerapkan satu ruangan lebih dari empat kamar tidur. Terutama untuk kelas tiga.
BACA JUGA:98 Persen RS Sudah Siap KRIS, Sekda Supriono Sampaikan Jawaban Gubernur atas Pandangan Semua Fraksi
BACA JUGA:Presiden Jokowi Puji Ketangguhan Ekonomi Indonesia di Tengah Krisis Global
Dia khawatir jika diharuskan empat kamar tidur, masyarakat semakin kesusahan mencari ruang perawatan. “Saya sering dapat keluhan banyak masyarakat yang tidak bisa masuk rawat inap. Itu dengan kondisi sekarang yang sekamar bisa 12 tempat tidur,” tuturnya.
Anggota Komisi IX Fraksi PDI Perjuangan Edy Wuryanto juga meminta pemerintah hati-hati menerapkan KRIS. Pada kesempatan yang sama dia menyatakan kekhawatirannya karena pemerintah tidak kunjung terbuka dengan iuran. Ada isu yang menyebutkan KRIS membuat iuran disamaratakan.
Menurut Edy simpang siur soal iuran ini harus segera dijawab oleh pemerintah. Masyarakat, menurutnya, membutuhkan kepastian. “Kalau iuran betul satu harga maka akan membiaskan prinsip gotong royong di JKN. Ini juga bisa berpotensi menurunkan pendapatan iuran JKN,” ucap dia. Kalaupun iuran harus naik, juga harus disosialisasikan kepada masyarakat. “Jangan tiba-tiba naik,” katanya.
Dia juga menyoroti ketidaksesuaian antara laporan kemenkes dengan data di lapangan. Kemenkes mengungkapkan sudah banyak rumah sakit yang siap mengganti kelas rawat inapnya menjadi KRIS. Dengan masalah yang ada, dia minta agar pemerintah mematangkan lagi konsep kelas rawat inap.
BACA JUGA:Dampak Penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) di RSUD OKU Timur, Benarkah Ada Penambahan Biaya?
BACA JUGA:Iuran BPJS Belum Berubah, KRIS Jadi Standar Rawat Inap Semua RS
Edy mengingatkan perlu ada pelibatan masyarakat dalam penerapan KRIS. Sebab mereka ini yang akan membayar iuran sekaligus menikmati fasilitasnya. “Masih ada waktu sampai Juni 2025 untuk menanyakan kembali kepada masyarakat, bagaimana pelayanan kesehatan yang diinginkan dan berapa iuran yang mampu dibayarkan,” tandasnya.
Ketua Dewas BPJS Kesehatan Abdul Kadir pada kesempatan yang sama membeberkan apa temuannya selama berkunjung ke daerah. Menurutnya fasilitas kesehatan banyak yang menunggu aturan teknis penerapan KRIS ini. Sebab dalam Perpres 59/2024 diungkapkan aturan teknis akan diberlakukan melalui peraturan menteri. “Mereka memerlukan kepastian dalam menerapkan KRIS,” jelasnya.