SUMATERAEKSPRES.ID - Rakyat Indonesia baru saja selesai melaksanakan hajatan besar pesta demokrasi untuk memilih figur kepemimpinan nasional. Dengan ditetapkannya pasangan 02 sebagai pemenang oleh Komisi Pemilihan Umum, paripurnalah tugas para penyelenggara pemilu dan rakyat sebagai peserta pemilu pada tingkat Nasional.
Secara nasional, suasana persaingan di antara masing-masing kubu pasangan calon mulai mereda dan mulai mencari titik temu untuk bersama membangun bangsa ini dalam bingkai persatuan.
Akan tetapi, tingkat bawah (daerah), nuansa persaingan justru mulai terasa dengan akan dimulainya gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada bulan November mendatang jalan-jalan protokol sudah mulai dipenuhi banner-banner/baliho bergambar bakal calon yang akan berkontestasi dalam pilkada nanti lengkap dengan slogan, bahkan visi-misi dan program yang akan diusung jika terpilih.
BACA JUGA:Kantor KPU OKU Dinilai Tak Layak
BACA JUGA:KPUD Kabupaten Muratara Lantik 35 PPK untuk Pilkada 2024
Jika kita perhatikan, para bakal calon itu muncul dari berbagai kalangan, mulai dari yang muda tanpa prestasi dan pengalaman dalam hal kepemimpinan sampai mantan pejabat overload pengalaman yang belum rela kekuasaannya berpindah tangan, dari sosok yang muncul tiba-tiba sampai tokoh terkenal yang mungkin masih perlu mencari jati, dari yang hanya punya modal nekat dan coba-coba sampai orang kaya yang mungkin belum tahu cara menghabiskan kekayaannya.
Tidak dinafikan, dari sekian banyak bakal calon yang memasang foto dirinya memiliki pengalaman, jam terbang dan kapabilitas yang mumpuni untuk menjadi calon pemimpin (kepala daerah), sudah teruji dan terbukti kiprahnya di masyarakat.
Namun tidak sedikit juga bakal calon yang hanya bermodalkan ketenaran, kekayaan (uang), dan nama besar orang tua tanpa disertai pengalaman, kapabilitas apalagi ilmu sebagai bekal untuk menjadi seorang pemimpin yang baik dan berhasil. Dalam bahasa sederhana, kelompok terakhir ini muncul secara ujug-ujug dan biasanya bermodal nekatdengan niat coba-coba dan janji manis para “penyandang dana”.
Kelompok ini akan lebih tepat disebut sebagai calon pemimpi ketimbang calon pemimpin. Kelompok ini tidak hanya muncul dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) namun tak jarang ditemukan dalam kontestasi kepemimpinan pada sektor lainnya.
BACA JUGA:KPU Berubah Sikap, Caleg Terpilih Wajib Mundur saat Maju Pilkada
BACA JUGA:Nah Loh, KPU Palembang Sebut Calon Independen Belum Penuhi Syarat Dukungan, Ini Reaksi Cha-Boy!
Mencermati fenomena ini, tentu kita semua dibuat bertanya-tanya siapa dan yang mana kiranya calon yang pantas dipilih untuk menjadi pemimpin (daerah) kita untuk lima tahun ke depan? Salah-salah, kita akan terjebak memilih pemimpi untuk menjadi pemimpin kita.
Dalam Islam syarat untuk menjadi seorang pemimpin sering dinisbahkan kepada sifat-sifat wajib seorang rasul, yaitu; Siddiq (benar dan jujur), Amanah (melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggung jawab), Tabligh (menyampaikan/transparan/apa adanya), dan Fathonah (Cerdas dan memiliki kapabilitas di bidangnya/kepemimpinan).
Dengan kata lain, secara umum seorang pemimpin wajib memiliki sifat-sifat yang dimiliki seorang rasul karena sejatinya seorang rasul adalah seorang pemimpin ummat.Sedangkan dari perspektif Melayu seorang pemimpin harus memiliki 10 (sepuluh) sifat raja atau pemimpin yang baik.
Di antaranya; Tahu membedakan yang baik dan yang buruk, berilmu, baik rupa dan pekertinya, pemurah, berbakti kepada raja dan setia, pemberani , menjaga rakyatnya terutama fakir miskin, harus laki-laki bukan perempuan, menjauhkan diri dari bahaya dan senda gurau, dan dapat memilih pembantunya yang berbudi dan berperangai yang baiksebagaimana termaktub dalam literatur klasik Melayu Tajus Salatin.