Hukum dalam Kendali Kecerdasan Artifisial

Kamis 21 Mar 2024 - 19:57 WIB
Oleh: Irvan Bahri

PALEMBANG, SUMATERAEKSPRES.ID - Artificial Intelellegence (AI) atau kecerdasan artifisial sudah makin masif dalam pemanfaatannya dalam kalangan publik.

Segala aktivitas manusia menjadi lebih mudah dan efisien semenjak adanya palform digital tersebut.  

Pemerintah meskipun sudah mengantisipasi persoalan digitalisasi mulai dari terbentuknya peraturan perundang – undangan hingga proses penerapan aturannya.

Bukan berarti polemik aktivitas di dunia maya sudah usai. Pemerintah Indonesia seyogianya sudah merespon perkembangan teknologi digital sudah sejak lama.

BACA JUGA:Tak Sebanding Upah Kurir Rp50 Ribu Antarkan 277 Butir Pil Ekstasi, Ancaman Hukuman Lebih 4 Tahun Penjara

BACA JUGA:SEREM! Mahasiswa yang Bunuh Juniornya Sendiri Dituntut Hukuman Mati

Tepatnya, dari aspek yuridis, diterbitkannya UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, menjadi bukti sahih atas kesiapan tersebut.

Tingginya intensitas penggunaan media sosial dan masifnya pemanfaatan platform e-commerce (Transaksi Jual Beli Daring) dari waktu ke waktu, menjadi penanda bahwa hiruk pikuk kehidupan dalam dunia maya hampir setara dengan dunia nyata.

Alhasil, kehadiran AI makin menggeliat di berbagai segmentasi aktivitas masyarakat.

Bahkan, masa pandemi Covid19 beberapa tahun lalu merupakan pemantik atas hegemoni digital di dalam kehidupan masyarakat sebagai upaya mengurangi kegiatan tatap muka yang berpotensi menciptakan kerumunan.

BACA JUGA:6 WBP Lapas Martapura Dapat Remisi Nyepi, Pengurangan Hukuman 1 Bulan

BACA JUGA:PT BCR Tutup Total Gedung 16 Ilir, Hitung Kerugian, Pedagang Ancam ke Jalur Hukum

Mau tak mau masyarakat menyalurkan keinginan interaksi sosial melalui platform media sosial hingga e – commerce di dunia maya.

Tingginya aktivitas digital membuat paradigma baru bahwa ruang lingkup kehidupan di dunia maya hampir sama dengan kehidupan di dunia nyata.

Dampak Positif dan Negatif

Dampak positif dan negatif yang dihasilkan  teknologi AI merupakan keniscayaan yang harus diterima dengan bijak.

BACA JUGA:Kedua Terdakwa Akui Menyesal, Minta Hakim Hukum Seadil-adilnya

BACA JUGA:Sebut Tersangka Korupsi Sakit-sakitan dan Rencana Umrah, Penasihat Hukum Ajukan Penangguhan Penahanan

Efisiensi waktu dan biaya serta inovatif merupakan ganjaran atas  pemanfaatan salah satu produk digital tersebut.

Dalam dunia pendidikan, Teknologi AI sangat mempunyai peran dalam membantu akademisi dalam melaksanakan pengajaran dan riset/penelitian.

Di bidang penegak hukum pun tidak tertinggal, Anugerah dari kemajuan teknologi tersebut menghasilkan kebijakan tilang elektronik atau Elektronik Traffic Law Enforcement (E-TLE).

Pelaksanaanya ialah merekam pelanggaran lalu lintas di jalan raya dengan kamera CCTV.

BACA JUGA:Berharap Masih Bisa Beribadah Umroh, Kuasa Hukum ZT Ajukan Penangguhan Penahanan

BACA JUGA:2 Terdakwa Pembunuh Adik Bupati Muratara Dituntut Hukuman Mati, Keluarga Korban: Kami Minta Vonisnya Sama

Jika terdapat unsur pelanggaran, maka petugas kepolisian akan mencari data dari pelat nomor kendaraan pelanggar.

Selanjutnya akan dikirimi bukti dan surat tilang ke alamat pemilik kendaraan sesuai dengan STNK. Termasuk pula besaran denda yang harus dibayar melalui bank (Yogie Firmansyah, 2021).

Sistem tilang manual yang beralih sistem tilang elektronik ini dapat meminimalisir aksi pungutan liar.

Sudah menjadi rahasia umum jika  transaksi illegal atau dengan istilah anekdot “damai di tempat” antara oknum aparat dengan pelanggar lalu lintas, masih sangat sering terjadi.

BACA JUGA:Waduh, Mason Greenwood ingin Bellingham Dihukum

BACA JUGA:Kuasa Hukum Sebut, Peran Kliennya Kecil Dalam Kasus Penjualan Aset Yayasan

Contoh lainnya dalam sistem pengadilan di Indonesia juga mendapatkan efek dari arus digitalisasi.

Pendaftaran perkara di pengadilan saat ini dapat dilakukan secara daring (e-court) bahkan kegiatan persidangan juga dapat dilakukan secara elektronik (e-litigation).

Efek ketergantungan atas produk teknologi ini bahkan dapat terlihat dalam menumpas kriminalitas.

Salah satu contoh, eksistensi media sosial berefek kepada embel penegak hukum tidak hanya untuk polisi, jaksa,  pengacara maupun hakim.

BACA JUGA:Tidak Punya Izin, Segel Dua Lahan Galian, Tindakan Hukum Menunggu Iktikad Baik Pengelola

BACA JUGA:Hak Angket Tak Berdampak pada Hasil Pemilu, Pakar Hukum Minta Anies-Ganjar Legowo dan Hormati Pilihan Rakyat

Tetapi masyarakat umum dapat menjadi penegak hukum untuk orang lain bahkan untuk dirinya sendiri.

Masyarakat tidak perlu lagi melalui mekanisme prosedur hukum yang berbelit – belit.  

Cukup mengandalkan gawai dan akun media sosial, apabila ada suatu kejahatan yang dialaminya, maka dengan seketika pula dia dapat memviralkan perkara tersebut di dunia maya.

Mengandalkan kekuatan jari jemari masyarakat sipil, yang pada akhirnya berujung kepada penindakan hukum terhadap pelaku tersebut.

BACA JUGA:5 Negara yang Pernah Melarang Konsumsi Kopi di Masa Lalu, Nomor 2 Punya Hukuman yang Mengerikan

BACA JUGA:Tak Ada Dasar Hukum, Pakar Tata Negara Sebut Usulan Hak Angket Ganjar Pranowo Hanya Gimmick Politik

Desakan masyarakat di dunia maya memberikan tekanan positif kepada aparat penegak hukum untuk tanggap dalam merespon permasalahan yang ada.

Proses penanganan kasus hukum jika kalah cepat dengan kekuatan viralnya kasus kejahatan, akan berdampak kepada citra penilaian aparat penegak hukum itu sendiri.  

Kejahatan yang diviralkan merupakan bentuk penghukuman kepada pelaku yaitu berupa sanksi sosial.

Sanksi sosial di sini seakan menjadi independent variabel (variabel yang mengingkat) dan membuat sanksi hukum sebagai dependent variabelnya (variabel yang diikat).

Kategori :