Mengukuhkan Tradisi Menyimpan Emas, Membawa Berkah Hasil Laut Melimpah

Jumat 19 Jan 2024 - 16:16 WIB
Reporter : Rendi
Editor : Rendi

PALEMBANG, SUMATERAEKSPRES.ID – Puluhan kapal nelayan bertenaga 5-10 GT (gross tonase) berlabuh di Dermaga Desa Sungsang I, Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumsel, Rabu pagi (17/1). Beberapa hari ini nelayan tangkap asal Sungsang memilih menunda ke Selat Bangka. Pasang air laut sedang tinggi-tingginya, gelombang bahkan mencapai 3 meter lantaran sekarang masuk puncak musim penghujan. Menantang ombak alamat karam, sehingga walau tak berpenghasilan nelayan memilih cari aman.

Salah satunya Parji (49) lebih banyak di rumah beberapa hari ini. “Mau berlayar ke Selat Bangka berisiko. Arus air laut sedang deras, lagi musim barat (angin ribut). Hasil tangkapan belum tentu melimpah karena kawanan ikan tak berkumpul. Apalagi populasi ikan laut saat ini berkurang,” ceritanya kepada Sumateraeskpres.id.

Ketika ikan masih banyak sekali tahun 1990-an, nelayan kapal kecil saja bisa memperoleh 1 ton ikan laut super (kualitas ekspor), paling sedikit 5 kwintal sekali berlayar 7-10 hari. Hasil penjualan ikan ke gudang pengepul hingga Rp15-20 juta, dipotong modal biaya ransum (bekal) dan minyak (BBM) kapal, sisa uang Rp7-10 juta dibagi 4-5 orang ABK (anak buah kapal). Dapatlah Rp1-2 juta per orang sekali melaut.

“Sekarang jauh berkurang, dapat ratusan kilogram ikan super Alhamdulillah. Kadang balik modal saja, tapi kami tak punya pilihan lain,” imbuh Parji. Syukurnya mau mencari ikan untuk makan tidak susah, bisa ke pesisir muara. Sementara biaya keluarga sehari-hari atau sekolah anak, Parji selalu menyisihkan penghasilannya usai melaut setiap pekan.


TIDAK BERLAYAR : Puluhan kapal nelayan tangkap Desa Sungsang, Kabupaten Banyuasin memilih tidak berlayar beberapa hari ini karena sedang musim barat (angin ribut) dan puncak musim hujan, gelombang air laut (Selat Bangka) tinggi. -Foto : Evan/Sumeks-

“Saya melaut tak sepanjang bulan, kadang 2-3 kali saja berlayar,” ungkapnya. Cuma beruntungnya tradisi lazim masyarakat Sungsang membeli, menyimpan, dan memakai perhiasan emas membuat sejumlah nelayan tak begitu cemas meski nganggur sementara di rumah. Ketika butuh uang mendesak untuk biaya hidup, usaha, pendidikan anak, emas sewaktu-waktu bisa digadai ke Pegadaian Syariah.  

Parji pun demikian, kebiasaannya sejak lama menyisihkan uang sedikit-sedikit ketika hasil laut melimpah untuk membeli emas telah membawa berkah. “Walau kita berada di pesisir laut Sumsel, banyak toko emas di Sungsang. Sekarang istri saya menyimpan perhiasannya dan sering dipakai pas hajatan. Ditotal ada lah 3 suku,” tuturnya.

Tahun lalu, aku Parji, ia dan istrinya sempat menggadaikan emas ke outlet Pegadaian Syariah Jl Kolonel Atmo, Kota Palembang. “Mau jual kan sayang, perhiasan tua, cincin dan kalung ya. Karena butuh uang untuk anak kuliah di Palembang, saya gadaikan 2 suku dapat Rp10 juta. Jangka waktu 120 hari, biayanya (mu’nah, red) Rp73 ribu per 10 hari,” tuturnya.

Parji mengaku masih terjangkau dan bisa ia bayar meski hanya berprofesi nelayan. Pendapatannya menjaring ikan laut sekitar Rp3-4 juta per bulan, bisa lebih jika tangkapannya penuh. “Saya tebus lagi emas itu kurun waktu (jatuh tempo) 4 bulan. Waktu itu biayanya kalau tidak salah Rp800 ribuan, plus mengembalikan pinjaman Rp10 juta,” ceritanya.

Kendati butuh waktu 2 jam perjalanan darat atau sungai dari Desa Sungsang ke Unit Pegadaian Syariah (UPS) Kolonel Atmo, nyatanya banyak warga Sungsang menjadi nasabah UPS ini. Data Pegadaian Syariah Cabang Simpang Patal Palembang, saat ini UPS Atmo memiliki sekitar 100 nasabah asal Sungsang.

Selain nelayan seperti Parji, banyak pula nasabahnya pemodal nelayan, pedagang sembako, toko bangunan, atau pelaku UMKM dari sana. Ada Anita, warga Desa Sungsang IV pemilik kapal pompong nelayan. “Yang bawa kapal saya, kakak sendiri bersama ABK. Berlayarnya lama, 3 sampai 5 bulan ke Selat Bangka atau Sungai Lumpur. Tangkapannya juga sesuai, lagi banyak omset penjualan ikan bisa tembus Rp100 juta,” tutur Anita.

Tapi itu pendapatan kotor, nanti dibagi-bagi ke ABK termasuk Anita sebagai pemilik kapal (bagi hasil). “Kakak saya biasa menangkap ikan ekspor seperti senangin, sembilang, sebelah laut, bawl putih, pari, udang pink yang harganya ratusan ribu per kg,” bebernya. Nah, Anita sempat butuh modal membeli jaring kantong ikan atau senar (tangsi) untuk kapalnya plus modal ransum nelayan, sekitar tahun 2017 lalu. Harga jaring itu mahal, mencapai Rp30-40 juta sehingga terpaksa Anita mencari pinjaman.

Kebetulan, seperti warga Sungsang kebanyakan, ia pun banyak menyimpan emas perhiasan. “Ada 20 suku, cuma mau dijual ke toko emas susah kebeli lagi. Dengar dari tetangga, sarannya gadaikan saja ke Pegadaian Syariah Atmo,” tutur Anita.

Ia lalu naik travel berangkat ke UPS Kolonel Atmo membawa perhiasan 10 suku. “Saya gadaikan dengan jangka waktu 4 bulan, dapatlah pinjaman ( rahn ) Rp30 juta. Setelah punya modal, saya belikan semua perlengkapan ke laut. Hasilnya pun berkah, kakak dapat berton-ton ikan sehingga besar untungnya,” tegasnya. Setelah itu ia menebus kembali emasnya ketika habis tempo, dengan biaya pemeliharaan gadai Rp2 juta-an.

Di lain waktu, Anita butuh modal lagi untuk kapalnya melaut. “Terakhir dapat pinjaman Rp20 juta. Jadi sekarang butuh uang untuk apa-apa selalu ke Pegadaian Syariah,” tuturnya. Karena begitu praktis, Anita menyebut beberapa tetangganya ikut jadi nasabah Pegadaian Syariah. Sebelum tahu, mereka pada jual ke toko emas, sekarang rahn (gadai emas syariah) jauh pilihan terbaik.

Kategori :