PALEMBANG, SUMATERAEKSPRES.ID - Obat bagi penderita gangguan jiwa bertujuan untuk mencegah, meringankan dan menyembuhkan penyakit. Dalam artian, pengobatan tidak akan menyembuhkan penderita gangguan jiwa 100% tetapi dengan pengobatan maka waktu remisi pasien (keadaan penyakit yang terkontrol dengan baik, dengan atau sudah tanpa obat) menjadi setahun lebih lama dan gejala psikosis tidak akan terlalu parah.
"Hal ini tentunya akan memperingan beban hidup pasien. Karenanya, penting sekali bagi penderita gangguan jiwa untuk minum obat berkelanjutan,"kata Dian Sulistiasih S Farm, Apoteker Farmasi Klinis RS Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan, kemarin.
Kepatuhan minum obat merupakan fenomena yang cukup kompleks, mengingat banyak faktor yang dapat mempengaruhi, mulai dari faktor usia, jenis kelamin, tingkat Pendidikan, tingkat ekonomi dan pekerjaan. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa intervensi terhadap masalah kepatuhan ini sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Respon terhadap obat anti psikotik bersifat “individual” dan perlu pengaturan secara empirik (therapeutic trial). Lenih lanjut fia mengatakan, pengaturan dosis biasanya dimulai dengan dosis awal (dosis anjuran) kemudian dapat ditingkatkan hingga mencapai dosis efektif (dosis yang mulai berefek supresi gejala sasaran) kemudian dapat ditingkatkan secara gradual hingga mencapai dosis optimal (dosis yang mampu mengendalikan gejala sasaran dan dipertahankan untuk jangka waktu tertentu), kemudian diturunkan secara gradual hingga mencapai dosis pemeliharaan (dosis terkecil yang masih mampu mencegah kambuhnya gejala).
BACA JUGA:ODGJ, Menunjukkan Pola Pilihan Relatif
BACA JUGA:ODGJ Jadi Pemilih, Tergantung Surat RS Jiwa
Bila sampai waktu tertentu, hasil terapi sudah dinilai cukup memuaskan maka dosis dapat diturunkan secara bertahap hingga berhenti pemberian obat (tappering off). Banyak kasus penderita merasa bosan dengan pengobatan karena membutuhkan waktu yang lama. Akhirnya menurunkan kepatuhan mereka untuk minum obat secara rutin. Efek obat tidak bias bekerja dalam sekejap untuk menghilangkan gejalanya. Namun minum obat setiap hari seperti yang diarahkan dokter dapat sangat membantu meningkatkan efektivitas obat.
Untuk merasakan perbaikan dan perubahan yang positif dalam jangka panjang, biasanya pasien membutuhkan waktu paling cepat satu bulan setelah memulai pengobatan. "Pada beberapa orang, efek obat ini baru akan terasa setelah empat atau enam bulan karena gaya hidup yang kurang mendukung penyembuhan," tambahnya.
Setelah itu pun pasien tidak dianjurkan untuk langsung menghentikan pengobatan. Pasien mungkin diminta untuk tetap meneruskan pengobatan selama satu hingga dua tahun, bahkan seumur hidup tergantung kondisi dan keparahan penyakit. Pasien juga tidak dianjurkan untuk meningkatkan atau menghentikan dosisnya tanpa sepengetahuan dokter karena ada risiko efek samping dan komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibatnya.
"Penderita gangguan jiwa yang putus obat atau obat tidak diminum secara teratur bias berakibat buruk bagi kondisi pasien, bahkan memperparah penyakit yang dideritanya,"tegasnya. Padahal, dengan pengobatan yang benar, kualitas hidup penderita gangguan jiwa akan lebih baik.
BACA JUGA:Pengobatan ODGJ 2 Fase, Khusus Pasien Kasus Pembunuhan Tunggu Surat Kepolisian
BACA JUGA:Peduli ODGJ, Galakkan Gepujitu
Selain membutuhkan waktu pengobatan yang lama, adanya efek samping obat juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi kepatuhan minum obat bagi penderita gangguanjiwa. Perasaan tidak nyaman setelah konsumsi obat biasanya dikaitkan dengan efek samping obat. Sebenarnya pada beberapa kasus hal ini lazim terjadi pada minggu-minggu awal pengobatan dan tidak semua orang mengalaminya juga. Pada masa awal pengobatan tubuh sedang berproses mentoleransi dari efek obat yang diminumnya.
Tidak bisa dipungkiri, setiap obat pasti memiliki efek samping. Kalaupun ada yang sangat aman, tetap ada sebagian kecil orang yang tetap bias mengalami alergi terhadapnya. Bagaimanapun, obat adalah bahan kimia asing yang dimasukkan untuk mengubah kondisi tertentu pada tubuh seseorang, sehingga bisa dimengerti bila kemudian ada yang mengalami efek samping.
Namun yang harus pahami juga, dalam meresepkan obat, dokter sudah mempertimbangkan untung ruginya. Obat tidak akan diresepkan jika dinilai efek sampingnya lebih besar ketimbang potensi kebermanfaatannya. Misalnya bagi ibu hamil, sebagian obat mungkin berbahaya bagi janin. Namun jika ibu hamil tersebut tidak mendapatkan terapi obat, akan berbahaya bagi keselamatan ibunya sendiri bila tidak ditangani lebih lanjut, maka obatnya bias tetap diberikan meski berpotensi membahayakan janin.