ODGJ, Menunjukkan Pola Pilihan Relatif
Dr. Anrilia Ema M N., S.Psi., M.Ed.,-Foto: sumeks-
SUMATERAEKSPRES.ID - BERPERAN serta dalam pemilu dan menggunakan hak suara adalah hak setiap warga Negara.
‘’Terutama dalam tatanan negara demokrasi. Namun, orang dengan Ganguan Jiwa (GJ) rentan kehilangan hak ini, yang menyebabkan tercabutnya hak memilih tersebut,"ujar Dr. Anrilia Ema M N., S.Psi., M.Ed., Psikolog Magna Penta Consulting, RS Hermina dan RSUD Siti Fatimah.
Dikatakan, ODGJ seringkali mengalami stigma dari masyarakat dan dikesampingkan dalam pemenuhan hak memilihnya, "Karena persepsi kelompok ini tak kompeten secara mental,"ucapnya
Bagaimana hukum dapat melindungi hak-hak kelompok ini, termasuk haknya untuk turut serta dalam pemilu dengan menggunakan hak pilihnya, "Ini merupakan bahasan yang terkait dengan ranah hukum sehingga perlu ditelaah dari perspektif hukum," katanya.
Dari sudut pandang psikologi, beberapa penelitian menunjukkan kelompok ODGJ menunjukkan pola pilihan yang relatif serupa dengan pola pilihan pada masyarakat di lokasi geografisnya. "Pada penelitian lain di Canada yang dilakukan terhadap sekelompok pasien psikiatri, ditemukan pengetahuan politik kelompok ini cenderung tinggi,"jelasnya
BACA JUGA:ODGJ Jadi Pemilih, Tergantung Surat RS Jiwa
BACA JUGA:ODGJ Tak Mau Turun dari Traffic Light, Polisi Berupaya Bujuk Hingga Lakukan Hal Ini
Hasil-hasil studi ini, lanjutnya, mengarahkan pada kesimpulan hukum yang membatasi hak pilih ODGJ merupakan pembatasan yang tidak perlu.
"Apalagi, hasil penelitian juga ada yang menunjukkan upaya memfasilitasi hak pilih pasien dengan gangguan jiwa justru terbukti berkontribusi pada perasaan menjadi bagian dari masyarakat. Bukan sekedar menjadi kaum minoritas yang terpinggirkan dalam hal penggunaan hak suara,"tandasnya.
Terpisah, Psikiater RS Ernaldi Bahar, dr Meidian Sari, SpKJ mengatakan, jika seseorang dengan disabilitas mental memiliki kondisi kognitif yang baik dan mampu memahami proses pemilihan umum, mengapa tidak memberikan hak tersebut.
"Yang penting, mereka tidak dalam kondisi akut dan tidak di bawah pengaruh orang lain. Oleh karena itu, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang sudah memiliki stabilitas emosional dan mampu memahami apa yang akan dilakukannya seharusnya tidak dihalangi untuk memilih," tambahnya.
Dalam konteks pasien ODGJ, hak untuk memilih merupakan salah satu bentuk pengakuan terhadap hak asasi manusia mereka. ‘’Saya kira kita perlu melihat pasien disabilitas mental sebagai individu yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masyarakat, termasuk hak untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum," tegasnya. (nni/iol)