Bicara soal karhutla, Soegiman menerangkan sulitnya mengendalikan itu karena HGU perusahaannya berbatasan langsung dengan lahan masyarakat yang tidak produktif.
“Di sana ada sungai, mayarakat mencari ikan, mencari purun,” jelanya.
Pulang mencari ikan atau purun, dari sana membuang puntung rokok. Malamnya baru terbakar.
Sementara pegawai perusahaan sudah pulang sebelum Magrib. “Malam baru muncul api, terbakar. Susahnya di situ,” paparnya.
Efektifnya, menurut Soegiman lahan-lahan kosong milik masyarakat itu bisa dibangunkan plasma. Mitrakan dengan perusahaan.
“Bila itu sudah jadi kebun, itu masa depan mereka, mereka akan jaga. Itu aset mereka. Kalau didiamkan saja, itu seperti contoh di pinggir jalan depan PT Rambang. Yang banyak terbakar itu lahan milik masyarakat tidak produktif,” ujarnya.
Pihak perkebunan yang berlahan gambut, menurut Soegiman, harus mengelola manajemen air dengan baik.
Karena kalau gambut, begitu sudah kemarau kering airnya.
“Kalau habis airnya, tidak bagus juga hasil buah sawitnya,” terangnya.
Untuk belajar dari pengalaman kemarau panjang El Nino 4 tahunan, dari 2019, 2023, maka akan bertemu lagi pada 2027.
Dari lahan masyarakat yang tidak dikelola, akan banyak jadi bahan baku untuk menyulut kebakaran.
Dirikan Posko-Posko Hadapi El Nino 2027
Soegiman memberikan solusi menghadapi El Nino 2027 nanti, buat cluster dan posko-posko.
Sebab sudah diketahui di mana kantong-kantong, sumber-sumber kebakaran dari pengalaman sebelumnya.
“Dirikan posko-posko di sana, terdiri dari Polri, TNI, Manggala Agni, perusahaan,” paparnya.
Dana operasional posko-posko itu, urunan dari setiap perusahaan sawit yang ada.