ODGJ Tidak Bisa Dipidana, Berikut Penjelasan Menyeluruh dari Praktisi dan Pengamat Hukum Ridho Junaidi
Praktisi dan Pengamat Hukum Ridho Junaidi. Foto: Nanda/sumateraekspres.id--
PALEMBANG, SUMATERAEKSPRESID - Keberadaan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang terlibat dalam tindakan kekerasan membuka dilema hukum yang kompleks.
Pada dasarnya, pembunuhan atau tindakan serius lainnya berpotensi menarik konsekuensi pidana, namun ketika pelaku adalah ODGJ, segalanya menjadi berbeda.
Menyikapi hal ini, Ridho Junaidi, seorang Praktisi dan Pengamat Hukum Sumsel, menegaskan bahwa masyarakat dan keluarga perlu segera melaporkan keberadaan ODGJ kepada dinas terkait.
Terutama Dinas Sosial, jika kehadiran mereka mengkhawatirkan masyarakat sekitar.
"Kita sebagai masyarakat harus peka terhadap ODGJ yang berkeliaran sebagai upaya antisipasi terjadinya tindakan di luar kendali yang dapat merugikan orang lain," ungkap Ridho pada Minggu, 7 Januari 2024.
BACA JUGA:Pengobatan ODGJ 2 Fase, Khusus Pasien Kasus Pembunuhan Tunggu Surat Kepolisian
BACA JUGA:ODGJ, Menunjukkan Pola Pilihan Relatif
Ridho menyoroti bahwa jika ODGJ melakukan tindakan di luar batas kewajaran, bahkan hingga membahayakan nyawa orang di sekitarnya, proses hukum pidana tidak dapat diterapkan.
"Hukum pidana berlaku bagi pelaku, namun jika ODGJ melakukan tindakan di luar batas dan melanggar hukum, ia tidak bisa dituntut pidana," tambahnya.
Menurut Ridho, hal ini diatur dalam KUHP Indonesia, yang menyatakan bahwa ODGJ tidak dapat dipidanakan. "Bahkan keluarganya juga tidak bisa dituntut karena perbuatannya yang diluar kendali," jelas Ridho.
Ridho juga menggambarkan dalam ilmu hukum pidana terdapat alasan penghapus pidana, termasuk alasan pembenar dan pemaaf. "Alasan pemaaf diatur dalam Pasal 44 KUHP," ujarnya.
BACA JUGA:ODGJ Jadi Pemilih, Tergantung Surat RS Jiwa
BACA JUGA:ODGJ Main Api, Rumah Ludes
Pasal 44 ayat (1) KUHP menyebutkan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan karena cacat jiwa atau gangguan mental tidak dipidana.
Sementara Pasal 44 ayat (2) KUHP memberikan hakim wewenang untuk memerintahkan seseorang dimasukkan ke rumah sakit jiwa selama satu tahun sebagai waktu percobaan, jika perbuatan tersebut terkait dengan cacat jiwa atau gangguan mental.
Ridho berharap bahwa dengan meningkatnya kasus-kasus serupa, baik instansi sosial maupun masyarakat dapat segera mengambil tindakan rehabilitasi terhadap ODGJ yang berkeliaran.
Sebagai catatan, beberapa kasus pembunuhan oleh pelaku ODGJ telah mencuat, seperti kasus Asep Gusti Randa yang membunuh orang tuanya sendiri secara sadis di Desa Kebur, Kabupaten Musi Rawas.
Kasus serupa termasuk tindakan Yani Atika yang membunuh anaknya, dan kasus lain yang melibatkan ODGJ seperti Pino Saputra, Hendri, dan Otori Effendi, memberikan sorotan terhadap kompleksitas hukum dalam menghadapi kasus-kasus semacam ini.